Music media isn’t cool anymore…
Kala rekomendasi DSP menyajikan kepraktisan. Tinggal buka playlist editorial mereka, and puff! Beragam musik baru terpampang di sana. Tanpa perlu tahu alasan kenapa mereka bertengger di situ.
Belum lagi algoritma. Hari ini, bukankah TikTok dan trending YouTube adalah sebenar-benarnya tuhan? Ia jadi penentu selera. “Viral di TikTok” adalah milestone tersendiri. Pengaruhnya besar, dari menaikan kembali back-catalog sampai menyelamatkan (ekonomi) band-mu.
Ini semakin telak saat semua so-called media musik isinya sama: Copas rilisan pers yang memenuhi surel mereka, atau paling banter, ditulis ulang. (Tapi dilema juga. Mau beropini jujur, takut disatru sak-tongkrongan). Padahal music news is dead. Tak seperti 15 tahun lalu, kita tak lagi perlu membaca tingkah polah Ahmad Dhani di koran atau TV. Cukup buka Instagramnya (atau Video Legend) and voila! Kamu langsung dapat infonya. A1 lagi!
Jadi apalagi alasan memuat press release selain konten kejar tayang (atau lebih baik lagi… dibayar sebagai paid promote)?
**
Lalu, apa fungsi media musik hari ini? Kegunaannya sudah digantikan hal-hal di atas. Kuratorial? Ada playlist. Penentuan selera? Ada algoritma. Pemberitaan? Ada medsos. Apakah yang masih relevan dari keberadaan sebuah media musik?
Monggo dijawab masing-masing.
But here’s what I know: Media musik pada dasarnya punya power untuk menyajikan “konteks”. Ialah yang mampu menjawab, “Kenapa lagu ini layak diperhatikan?” Apa yang membuatnya menarik, berikut hal-hal yang menyelimutinya dari berbagai sudut pandang. Mau dulu atau sekarang, inilah yang jadi poin utama sebuah media musik. Selain aspek pemberitaan, tentu saja.
Bayangkan betapa serunya saat satu media memuji Dream Theater sebagai “profesor musik masa kini” (Padahal kebanyakan tak lulus kuliah), lalu ada media lain yang bilang musik mereka hanyalah “masturbasi ego nan dekaden”? Atau menguji statement Matt Healy bahwa Metallica itu band buruk dengan fakta 4 album awal mereka cukup monumental– meski sisanya memang biasa saja (ini juga pendapat media, lho). Memang akhirnya pilihan kembali ke masing-masing, tapi se-tidak-tidaknya, ada alternatif-alternatif dalam arena bernama kebudayaan ini, kan?
Fungsi konteks jadi semakin penting karena faktanya, kita dibanjiri ratusan rilisan baru setiap minggu. Kemudahan akses mendatangkan begitu banyak pilihan pada pendengar yang, sayangnya, tak selalu berujung baik. Kita malah semakin bingung akan bejibunnya produsen. (Paradox of Choice). Di sinilah peran kuratorial media musik hadir. Dengan menyajikan konteks, pendengar mampu memisah-milahkan musik-musik yang layak dengar dari musik-musik yang generik (baca: tidak menarik).
Discerning Music from endless noises.
Itulah jawaban terbaik yang bisa saya berikan atas pertanyaan, “Kenapa media musik masih dibutuhkan?”
Ya karena kita tak bisa berharap banyak akan keberadaan konteks dari kurator dan algoritma. Kenapa lagu A– instead of lagu lainnya– masuk dalam playlist ini? Kenapa lagu ini layak di-push, viral di TikTok? Dan kenapa kategori “Lagu Daerah” di sebuah ajang musik bergengsi nan adiluhung itu cuma diisi oleh lagu-lagu dangdut berbahasa Jawa– dan viral– dan bukan hip hop Maluku, tembang-tembang Sunda, serta alunan Bugis (dan so-called “daerah” lainnya)?
Saya tak mengatakan bahwa algoritma buruk. Tidak. Dalam beberapa sisi, algoritma dan media sosial menyajikan demokratisasi. Setiap orang, selama punya sinyal internet, bisa dikenal dan menjadi artist di layar genggam orang-orang lainnya. Corong-corong produksi-distribusi-konsumsi juga relatif bisa dikuasai secara mandiri; tak tersentralisasi di kanal-kanal label besar (meski ini bisa didebat juga).
Namun algoritma tak punya hati, tak punya pemahaman manusiawi selain angka-angka dan traffic yang diperlukannya untuk menarik pengiklan, ya tho? Jika kata viral yang kamu kejar, ya gakpapa. Good luck! (But I bet y’all don’t want it, right?) Maksudnya, betapa menyedihkannya membuat sesuatu untuk mengejar spotlight super aji mumpung seperti itu-- dan bukan sebuah proses yang dilakukan dengan terukur dan matang. (Plus, you’re not the only one wanting that). Ini saya lho ya.
Saya tak tahu dengan kurator playlist. On the bright side, saya rasa mereka berusaha maksimal untuk menyeimbangkan kualitas audio, kebutuhan traffic perusahaaan, dan sisi manusiawi mereka. (Semoga saya benar). Other than that, it’s a literal blank page. Toh, sekali lagi, gak ada sejarahnya Spotify bilang alasannya kenapa lagu band ini masuk “Gelombang Alternatif” atau “Cadas Bergema”, kan?
And as for juri awards, well… kapan terakhir kali anda berharap pada mereka? Ha!
Apakah kami (Terpapar!) sudah berhasil melakukannya? Entahlah. Namun satu: Setiap penulis di akun ini diberi kebebasan penuh untuk menulis apapun dari sudut pandang masing-masing. Itulah yang paling bisa kami lakukan. Mengklaim musik ini “menarik”, merekomendasikannya kepadamu dengan dasar-dasar yang kami yakini. Sisanya kami kembalikan ke kalian. Jika setuju, alhamdulilah. Jika tidak, kami menunggu opini pembandingnya.
Sesederhana itu.
Hal ini semakin relevan jika ngomongin “daerah”. Kita tentu tak bisa berharap tangan khalayak ibukota– dengan gaze-nya itu– untuk membantu kita. Karena itu kami sangat senang jika ada satu-dua media musik yang muncul di berbagai penjuru daerah. Apalagi jika mereka berani untuk mengklaim dan memberikan sudut pandangnya masing-masing. Bukan untuk mendebatkan selera, melainkan– sekali lagi– untuk merayakan kekayaan tersebut.
Keberadaan media-media daerah memang tak akan mengubah fakta bahwa semua-mua masih terpusat di Jakarta. Bahwa panitia awarding lebih mencintai Pamungkas ketimbang tetangga samping rumahmu yang artwork & musiknya lebih layak mendapat perhatian (plus bebas plagiat). Serta takkan mengubah fakta bahwa band-band itu lagi yang akan direkomendasikan platform korporat kesayanganmu. (Dan betapa randomnya selera ‘orang banyak’ itu).
Dengan kata lain: Kita akan tetap kalah. Oleh kapital, sentralisasi, serta sistem brengsek yang memanjakan mereka. Resistansi ini hanyalah– mengutip Chairil– siasat “menunda kekalahan”; mengisinya dengan kemenangan-kemenangan kecil yang kita rayakan sendiri. Satu “kemenangan kecil” sudah di tangan; ia bernama “independensi mengelola musik & hak-hak kita sendiri." Dan terkadang... itu sudah lebih dari cukup tho?
Sisanya, mari kita selesaikan sendiri-sendiri. Dalam ruang lingkup masing-masing. Selain perihal umum-menahun seperti seksisme, fasisme, dan ketersediaan ruang aman, setiap “daerah” punya masalahnya sendiri-sendiri. Namun yang pasti, kata ideal baru tercapai ketika setiap daerah bisa menghidupi dirinya sendiri. Dari musisi, dari pendengar, dan semua pihak yang mengitarinya.
Alih-alih mengharapkan tangan suci mesias bernama “Ibukota”, bukankah lebih baik kita, orang-orang berkelindan langsung di dalamnya, yang menyelesaikannya?
Karena musik Indonesia bukan hanya (tentang) Jakarta.
Sekarang pilihan ada di tangan masing-masing. Bagi (calon) media musik, apakah kita mau melangkah lebih jauh? Apakah kita berani mengklaim dan beropini, mempunyai standing position yang pada gilirannya, menjalin trust dengan khalayak? Ataukah memang kita akan berjalan di tempat (atau malah mundur) dengan konten generik bernama press release yang memenuhi inbox kita?
Dan bagi pendengar (ya, kamu), relevan-tidaknya paragraf di atas pada akhirnya bergantung pada behavior-mu sebagai penikmat musik. Apakah mau mencari lebih dalam daripada yang dicekokan kepadamu? Oleh playlist, oleh algoritma, dan oleh kemapanan nun jauh di sana? Aksesibilitas sudah terbuka lebar, menemukan musik-- bahkan yang paling asingpun-- tinggal satu-dua ketuk jemari. Tinggal mau atau tidak, ya tho?
Jika jawabannya ternyata tidak. Jika pendengar lebih nyaman disuapi oleh entitas-entitas di atas. Dan jika para pendengar ternyata gak butuh-butuh amat akan kehadiran media musik, maka ada satu tanya, "Apa media musik masih relevan hari ini?"
-KMPL-