Terpapar! Wicara - Radinang Hilman
Toko Rekam Jaya, tidak bisa tidak, adalah satu destinasi suci di kota Malang. Apalagi buat anda yang mendapuk diri music-enthusiast. Di sana anda bisa melihat betapa kumpulan rilisan fisik mulai dari kaset, CD, dan vinyl tertata rapi. Tak lupa, berbagai zine sampai publikasi tentang musik dan kultur pop. (Juga, spot menarik untuk pre-wed-mu biar myuziek banget).
Nah, di sana pula, anda akan menjumpai seorang penjaga kuil-nya. Mz-mz berbadan kekar yang hampir selalu ada dan menjaga kesuciannya. Memastikan semua hal di Rekam Jaya baik-baik saja di tengah dunia yang kacau tiada tara.
Namanya: Radinang Hilman.
Jika ke sana, ada baiknya anda menyapa manusia satu ini. Meski kerap (macak) sibuk, pria yang akrab disapa Memen ini cukup ramah. Apalagi kalau ngobrol soal musik; hal yang ia cintai dan perjuangkan dengan segenap jiwa raga dan gono-gini-nya. Dan jika pintar “memancing”, anda akan dapat banyak pandangan menarik dari dirinya. Hal-hal yang sepertinya akan jarang ia tuangkan dalam tulisan-tulisan musiknya yang apik itu. (Ya, dia juga salah satu penulis yang saya kagumi).
Tempo hari, saya iseng nge-list beberapa pertanyaan untuk Memen. Interviu tertulis via surel ini jelas belum bisa mencakup segala pandangannya. Jadi setelah membaca ini, segeralah bertamu ke Rekam Jaya dan meminta penjelasannya. Ha!
Selamat membaca!
**
Apa kabar Toko Rekam Jaya?
Halow Kempel dan kawan-kawan Terpapar!. Seperti biasa, Toko Rekam Jaya masih buka seperti biasa dan masih jualan rilisan musik, mau ganti bisnis lalapan tapi kita bisanya cuma makan, gak ada yang bisa nyambel. Ha!
Bagaimana keadaan rilisan fisik hari ini serta ke depannya menurut pandanganmu?
Keadaannya baik-baik saja. Justru 2 bulan belakangan lagi oke nih penjualan rilisan. Lumayanlah, bisa beli tapedeck baru buat muter kaset pita dan makan bareng anak-anak Rekam Jaya.
Gak tau ke depannya bakal seperti apa. Prediksinya mungkin makin meningkat ya, terutama piringan hitam. Apalagi kalo lihat respon terhadap isu kemarin (PHR Pressing dan revitalisasi Lokananta). Tapi aku masih percaya sampai kapanpun rilisan fisik pasti punya peminatnya.
Setuju gak kalo rilisan fisik semakin dipandang sebagai merchandise?
Wah, iya lagi. Hahahah.
Faktanya banyak sebagian band muda sekarang, setidaknya di sekitarku (Malang), yang menganggap rilisan fisik sebagai merchandise.
Baru-baru ini, PHR Senayan membuka pembuatan piringan hitam di Indonesia. Secara teori, ini akan menekan biaya produksi dan– khususnya– menghilangkan biaya pengiriman kalau kita mencetak vinyl dari luar. Gimana pendapatmu?
Harusnya sih begitu ya. Tapi konon harga produksi di sini masih belum terlalu jauh dibandingkan produksi di luar. Mungkin karena masih awal jadi mereka (PHR Press) masih meraba-raba ongkos produksi dan pasar di sini. Ya semoga aja ke depannya ongkos produksi piringan hitam bisa ramah terutama bagi kantong label / musisi independen.
Cuma menurut beberapa info dari kawan-kawan yang tinggal di luar sana, harga jual piringan hitam di luar sana gak beda jauh kok sama di sini. Jadi sepertinya memang harga produksi piringan hitam masih di sekitaran angka-angka itu.
Tapi tenang. Masih ada medium lainnya yang ramah di kantong dan mudah diakses; kaset pita, CD, Bandcamp, Youtube, Spotify dan platform lainnya, misalnya.
Menurutmu, apakah itu akan menginspirasi artist-artist untuk memproduksi vinyl?
Belakangan sih mulai banyak temen-temen yang tanya price-list produksi vinyl ya. Entah karena euphoria efek munculnya PHR, sekadar basa-basi atau memang mereka benar-benar tertarik mau produksi vinyl. Hehe
Tapi kalau dilihat sebelum PHR Press mengumandangkan jadi tempat produksi vinyl di Indonesia, beberapa label dan artis di sini sudah banyak cetak katalog mereka dalam rupa vinyl kok. Tengok aja katalog Reaping Death (Sby), Porthside (Sby), Demajors (Jkt), Disaster Records (Bdg), Grimloc (bdg), Samstrong (Pekalongan), Elevation dan lain-lain.
Belum lagi di Malang ada Begundal Lowokwaru, Antiphaty, Extreme Decay, Ravage, Filastine yang katalognya sempat dicetak dalam format vinyl.
Jadi, keberadaan PHR ini kalo menurutku justru malah semacam support-system apa yang sudah ada dan dilakukan oleh teman-teman pelaku dan pegiat musik di sini. Semoga aja demikian.
Dalam konteks rilisan fisik, apa hal-hal yang belum “ideal” saat ini?
Waduh.
Balik lagi ini menurutku aja ya selaku penjaga toko dan penikmat rilisan fisik. Mungkin yang belum ideal saat ini perihal kualitas produksi ya, terutama dalam format fisik seperti kaset pita, misalnya, yang menurutku mulai mengalami penurunan kualitas. Padahal kualitas pita jika diproduksi dengan baik hasilnya bisa setara dengan format digital.
Kedua, akses ketersediaan pemutar rilisan fisik dan perangkat audio lainnya yang emang agak sulit didapatkan di sini. Entah itu pemutar CD, kaset pita atau piringan hitam.
Ketiga, kita ngomongin rilisan fisik yang (mungkin) jauh dari kata praktis. Maksudnya kita perlu effort ketika menjadi penikmat rilisan fisik; mulai dari memperhatikan menyimpan rilisan sampai maintenance alat pemutarnya. Nah, poin ke-dua itu mungkin jadi PR, karena ketika player bermasalah, selain sulit cari part-nya, kita (penikmat rilisan) juga mulai kesulitan cari orang-orang yang berkompeten untuk maintenance player-nya. Belum punya player aja sudah sulit, ketika sudah punya masih tetap dipersulit. Intinya serba sulit. Haha
Jadi, menurutku antusias tinggi konsumsi rilisan fisik sekarang ini harusnya juga penting dibarengi dengan tiga faktor di atas.
Jadi, apa definisi “Musik Bagus” menurut Radinang Hilman?
Musik yang diciptakan om Bagus NTRL. Walah!
Menurutku musik bagus adalah musik yang dirilis ke publik.
Apakah Radinang Hilman masih membaca reviu musik?
Anehnya iya. Sampai sekarang saya masih menjadi pemburu zine lokal yang masih suka me-review musik! Kalo ada rekomendasi silakan kabari!
Another cliche: Jadi, apakah kritik musik masih diperlukan?
Setidaknya dari pengalaman pribadi saja sebagai penikmat dan pembaca review musik. Jadi, saya kerap melewatkan begitu saja musik-musik baru, maksudnya sekadar lewat begitu saja kemudian lupa. Entah ya, saya sering merasa belum ada alasan saja untuk mendegarnya secara serius, ini mungkin karena selera pribadi. Keberadaan review musik lah yang sering membawa saya mengunjungi kembali musik-musik yang pernah saya lewati begitu saja itu. Dari sana (review) saya jadi punya alasan dan seringnya punya sudut pandang lain untuk mendengarnya secara serius.
Anehnya, banyak sekali musik-musik yang dulu dilewatkan begitu saja kemudian menjadi daftar favorit saya setelah membaca review. Jadi, bagi saya keberadaan review musik masih sepenting itu, Meskipun gak semuanya ya, karena banyak review musik yang jatuhnya justru kayak press release. Wkwkwkwk.
Apakah Radinang Hilman akan menulis reviu buruk?
Buruk itu gimana? maksudnya ulasan negatif? Ketika menulis saya cuma ngikuti apa yang saya pikirkan saja. Se-simple itu. Terkesan personal. Memang! Wkwkkw.
Dulu ketika aktif menulis saya hampir selalu menyelipkan kritik negatif, tapi tetap ada alasannya mengapa saya tuliskan demikian. Tidak peduli itu band teman-teman sendiri atau band dengan nama yang besar. Begitu juga sekarang, saya masih terbiasa berkata apa adanya ketika ada kawan-kawan yang merekomendasikan musik mereka pada saya. Blak-Blakan saja sesuai apa yang saya pikirkan. Personal. Meskipun kadang ada yang terlalu dalam dimasukkan ke hati. Biar saja. Tapi saya juga tidak pernah sungkan untuk memuji karya yang memang layak mendapatkan pujian.
Tapi ketika mereview musik, saya selalu ingat dengan wejangan jika kita harus meletakkan musik di atas segalanya, bukan urusan personal para personil atau hal-hal lain yang tidak punya urusan dengan musiknya.
Dan ya, seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Saya beruntung memiliki kawan-kawan yang sportif. Terkadang saya mengkritik negatif mereka, tapi tak jarang mereka juga mengkritik negatif saya. Tapi, kami tidak pernah menjadikan kritik negatif merembet ke ranah-ranah lain atau menjadikannya masalah personal. Justru sebaliknya. Kita semakin saling mendukung dan peduli satu sama lain. Pentingnya Kita sama-sama harus tahu konteks yang diobrolkan;karya, apapun wujudnya. Karena ini perihal komunikasi. Dan saya selalu ingat dengan tulisan mas Kimung yang kurang lebih begini; arena musik sebuah kota bisa dikatakan besar ketika komunikasi para orang-orang yang berkecimpung di dalamnya berjalan lancar.
Lancar dalam arti dua arah ya, bukan hanya satu arah. Ha!
Punya pengalaman dilabrak atau didebat karena tulisan atau komentarmu? Share-lah, kalo boleh.
Pernah dong. Jangankan didebat karena tulisan. Didebat karena tidak menuliskan juga pernah. Hahahaha.
Tapi saya selalu punya penjelasan dan alasan. Begitupula mereka yang mendebat tulisan saya. Ngobrol aja (dan sama-sama sadar!). Akhirnya ada yang sepakat dan ada juga yang tidak. Gakpapa. Itu wajar. Toh tidak semua hal kita harus sama-sama sepakat. Kembali lagi, yang terpeting kita sudah berkomunikasi saja. Dan kebanyakan (yang pernah mendebat) justru jadi teman dan malah bekerja sama sampai sekarang. Hahaha
3 tulisanmu yang paling kamu banggakan!
Hmmmmmm….
a. Tulisan perihal scene alternatif-rock di kota Malang, bisa dibaca di buku Ritmekota. Lewat scene tersebut saya banyak berkenalan dengan kawan-kawan pegiat,pelaku dan penikmat music di kota Malang. Itu (tulisan) adalah bentuk terima kasih saya pada mereka yang pernah hidup dan menghidupi di dalamnya. Meskipun masih banyak kurangnya dan ada yang perlu ditambahi di sana-sini. Wkwkwkwkw
b. Wawancara bersama pelaku dan pegiat music perempuan di kota Malang. Saya lupa mungkin tahun 2016-an dan terbit di mana. Tapi intinya, kami sama-sama mengetahui dan saling berbagi cerita jika gigs di kota Malang adalah ruang yang aman bagi para perempuan untuk berkecimpung di dalamnya. Semoga itu tetap dijaga sampai detik ini dan selamanya. Dari wawancara ini juga akhirnya kami bikin terbitan Koran Rekam Jaya edisi pertama di mana kontributornya perempuan semua. Seru!
c. Semua tulisan tentang Houtenhand (RIP). Tempat laknat itu, bagi saya, buka sekadar beerhouse dan tempat nonton gigs. Melebih itu. Saya banyak belajar dari orang-orang di sana. Ohiya, saya juga menemukan sekaligus belajar kultur kritik yang baik justru dari sana. Termasuk banyak tumbang! Hhaha
Bagaimana cara Radinang Hilman menemukan musik baru?
Karena saya bekerja di Toko Rekam Jaya, jadi saya beruntung karena musik-musik baru selalu datang dengan sendirinya. Hahahah.
Kalo lainnya ya datang ke toko kaset, dari berita media mancanegara, zine lokal, rekomendasi dari postingan story kawan-kawan di Instagram, dari teman-teman yang datang ke toko. Sama satu lagi, dari orderan mixtape saya justru menemukan banyak lagu baru. Hahahaha.
Di tengah kuasa algoritma dan editor playlist DSP, apakah media musik masih dibutuhkan untuk melakukan diskoveri musik? Ataukah ada alternatif lain di zaman kiwari?
Jujur secara pribadi digging musik menurut saya masih seru seperti di jawaban sebelumnya dan lebih awet di speaker. Hahaha
Entah kenapa Saya lebih menyukai penggalian musik yang lebih banyak melibatkan hubungan antara manusia. Meskipun algoritma dan robot-robot itu juga ciptaan manusia ya.
Maksudnya seperti datang ke toko bertemu pemilik atau pelanggan lainnya, membaca tulisan musik lewat media cetak maupun digital, nonton gigs atau sekadar datang ke rumah teman dan menemukan koleksi kaset menarik di rumahnya. Musik menghubungkan saya dengan banyak hal dari hal-hal semacam itu. Dan sampai sekarang masih terjadi dan tetap menyenangkan.
Okay, bagaimana media musik yang “ideal” menurut Radinang Hilman?
Aduh, ngomongin media musik yang Ideal menurut masing-masing orang tentu dan pasti berbeda. Mungkin rekomendasi media lokal saja ya, terlepas itu ideal atau enggak menurut kalian. Saya menyukai fanzine Profound milik Herry Sutresna, Use Your Voice bikinan Akram, Eisen yang dinahkodai Kliwon dkk, Consumed dan yang paling muda ada Grhamz hasil kolaborasi dua media muda Gravedead dan Hamzine.
3 Rekomendasi buku untuk penulis musik (serta alasannya)!
Usai Boombox Menyalak karya Herry Sutresna. Saya selalu membaca buku ini berulang ketika tak ada enerji untuk menulis. Tulisan Kang Ucok selalu berhasil membakar gairah untuk menulis.
Lokasi Tidak Ditemukan; Mencari Rock and Roll Sampai 15.000 Kilometer karya Taufiq Rahman. Saya mengagumi mas Taufiq ketika beliau membicarakan soal musik.
Ujung Berung Rebels; Panceg Dina Galur karya Kimung. Tidak perlu alasan. Jika ada kesempatan untuk membaca, saya sarankan untuk dibaca. Buku yang ditulis dengan passion, enerji dan kepedulian yang luar biasa besar terhadap scene underground oleh kang Kimung.
Siapa penulis musik favoritmu?
Banyak! beberapa sudah saya sebutkan; Herry Sutresna, Taufiq Rahman, Idhar Resmadi, Kimung, Wendi Putranto, Denny Sakrie (Alm), Denny MR, Arian13 (cek Tigabelas Zine), Ricky Siahaan, Samack, Rio Tantomo (kalian harus baca tulisan orang ini!), Raka Ibrahim dan masih buanyaaaaaaak.
Bagaimana keadaan kota Malang, khususon kancah musiknya dari sudut pandangmu?
Malang akan terus bergulir, beregenerasi dan berputar kembali seperti yang sudah-sudah. Hahaha Tentu saja masih terus menyenangkan. Tapi masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan bersama jika tidak mau terus menerus melakukan pengulangan.
All-time rilisan terbaik kota Malang menurutmu!
Saya sepakat dengan banyak pendapat jika band The Morning After pernah melahirkan album bagus berjudul Another Day Like Today. Saya juga sepakat band Write The Future juga menemukan puncak musikalitasnya ketika merilis album Changing Pace. Dua band yang sama-sama terlalu cepat memutuskan jalan di tempat ketika merilis karya terbaiknya.
Oke, harus diakui berdasarkan berbagai pernyataan dan pengakuan jika kompilasi bertitel Splak Blak! Mutakarak harus dicatat juga. Take This Life juga pernah merilis album yang bagus lewat Animus Animalis. Oh iya, ada Sampah Dunia Ketiga punya Extreme Decay yang perlu dicatat juga. Ugh, Maggot Sickness dari Rotten Corpse juga salah satu rilisan penting pada jamannya.
Dari band baru saya menyukai Vanity and Void punya Dazzle, sadar atau tidak, album ini boleh dibilang penanda era baru musik cadas kota Malang hari ini.
Eh, kebanyakan ya? Hahahaha
Rekomendasi-in 5 band Malang hari ini dong!
Dazzle, Limbo, Re:Nan, Hallam Foe, ada satu band yang saya suka materinya tapi belum pernah liat aksinya; The Waving Man.
3 top makanan ter-enak Malang versimu!
Bakso Rahul (biasa mangkal di parkiran sepeda motor stasiun), Orem-Orem Ketupat Abah Syahri, semua sayur dan lauk di warung nasmiecipok.
Wishlist: Apa 3 artist/band yang paling kamu tunggu comeback-nya?
Lolyta and The Disgusting Trouble, Andjoeran Pengoeasa, Kobra. Gak terlalu ditunggu, tapi pingin aja nonton lagi.
Terakhir: Siasat seorang Radinang Hilman menjaga kewarasannya!
Kita lebih butuh banyak orang yang gila. Gak usah waras! Being normal is boring!
**
(Interviu ini dilakukan via surel. Saking rapinya, saya sampai gak perlu ngedit jawaban-jawaban Memen. Brengsek emang dia! Semoga dia segera menulis lagi).
-KMPL-