Mungkin sudah nasibnya: Pertunjukan langsung—dan industri hiburan secara keseluruhan—akan berada dalam ranking terbuncit daftar prioritas pemerintah. Bagaimana tidak?
Toh "Hiburan" (dengan H besar) masih relatif dipandang sebagai “aktivitas bersenang-senang” daripada “kegiatan budaya untuk menopang hajat hidup orang-orang di dalamnya.”
Tapi baiknya kita tepikan sejenak hal itu. Toh berbagai kebijakan pusat memang seringkali ada di luar jangkauan kita. (Plus jarang sekali kita dilibatkan di dalamnya).
Khususnya Musik. Yang harus jadi fokus adalah ini: Ketika so-called “Industri” (besar) ini runtuh, apa yang bisa kita, sebagai komunitas, lakukan? Ini selalu jadi pertanyaan, terutama buat mereka yang bergerak di “tepian” serta dalam skala kecil bernama “daerah.”
Sejujurnya, saya tak tahu jawaban persisnya. Tapi satu hal: Setiap perubahan besar selalu dimulai dari berbagai inisiatif kecil. Bisa dari movement-movement kecil, workshop produktif, hingga gigs intim berbasis kolektif. Orang-orang yang sedikit, yang berkumpul demi musik, passion, dan pada akhirnya “Hidup” itu sendiri. Yang terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak: Kelompok-kelompok di luar mereka akhirnya mengadopsi hal-hal tersebut dengan cara masing-masing. Bagaikan riak dalam air, ia kemudian menyebar & melebar.
Saya menyebutnya “Inspirasi.” Yang lain menamainya “Harapan."
Dan lewat Mercusuara, Droomhaven sudah melakukannya. Tanpa banyak bicara & rencana, mereka mencipta apa yang mereka bisa, menjadi inisiator & penyala “api” dari dunia yang sudah tiarap paripurna ini. Mengutip kata kawan saya, “Droom adalah satu dari sedikit kafe potensi jualannya gak cuma produk, suasana, atau lebih buruknya, ‘lomba apik-apik’an feed’ Instagram. Mereka menyajikan ‘Culture.’”
Anda-- begitu juga saya-- boleh tidak setuju dengan opini di atas. Namun harus diakui, mereka telah berani merebut & menciptakan “perannya.” Membuka “Kemungkinan”, melempar batu dan menciptakan riak-riak kecil yang menyebar & melebar-- besar-- nantinya. Semua itu di tengah segala keterbatasan, sirine razia, serta hipokrisi pemangku kebijakan kotanya sendiri.
Tentu saya saya tak mengajak anda untuk berharap lebih kepada mereka. Atau mendapuk Droom sebagai “penyelamat”-- menyematkan hal-hal pretensius, tendensius, ambisius, lainnya yang malah berpotensi jadi “guilt-tripping”. Tidak, bukan itu. Poin saya hanyalah: Droomhaven sudah berani merebut perannya. Tak kurang tak lebih.
Lagipula, daripada menuntut orang lain bikin ini-itu, bukankah lebih baik memulainya dari sendiri?
Menutup hal ini, terlepas dari segala ingar bingar di linimasa, & skandalnya yang tak habis-habis. Terlepas dari jari tengah yang kita acungkan pada walikota yang hobi plesir ke tepian samudra, pertikaian interpersonal antar pegiat di sekitar kita, serta gogon-gogon di sudut-sudut tongkrongan, kita sejatinya punya satu doa yang sama: Bahwa panggung akan dibangun kembali, lampu-lampu dinyalakan lagi, dan kopi & rokok ditandaskan mereka yang menggantungkan hidupnya pada dunia ini-- sembari haha-hihi sebelum soundcheck jam 7 pagi.
Lalu saya dan anda yang membaca ini, menjadi satu dari kerumunan yang akan menyambutnya. Bersorak, menari, menyapa kanan-kiri, merayakan Hidup sebagai mana mestinya. Sebaik-baiknya & seharus-harusnya.
Dimulai dari langkah-langkah kecil sekitar, saya berani mengamini itu semua. Mengamini bahwa pelan-pelan, Musik akan kembali hidup. Sekali lagi & untuk selamanya.
-KMPL-