Hanya itulah umpatan yang sukses keluar dari mulut saya ketika pertama kali saya melihat selebaran daring berwarna dominan merah itu dari Instagram NOT FUSSED. Mata saya tak ayal jelalatan membaca semua informasi yang tertera pada selebaran tersebut dan takarir-nya.
Saya baru saja kembali dari persemadian, setelah sebelumnya selama kurang lebih 9 bulan menghilang total dari media sosial dan kehidupan nyata. Tidak memotret, tidak menulis, bahkan di tataran yang menurut saya ekstrem untuk seorang yang cari makan dari presensi daring: membatasi akses internet wabil-khusus akses orang-orang ke diri saya. Tentunya, kabar yang saya dapat sekembalinya saya bermain media sosial ini membuat saya pening setengah mati.
Apa-apaan ini, baru balik dari kehidupan mindfulness tanpa media sosial, lantas ada konser Tigapagi?! Dan kali ini pun helatannya tidak hanya sekedar penampilan Tigapagi biasa saja. Karena ya mereka juga habis manggung di Synchronize 2023 kok, saya tahu. Tanpa menihilkan pengalaman mereka yang punya kesempatan menonton Tigapagi di Synchronize 2023 kemarin, buatku penampilan yang ini jangan sampai lewat. Ini, for fuck sake, adalah konser merayakan 10 tahun repertoar mahakarya mereka, Roekmana’s Repertoire.
Album penuh yang gaib ini—well, album ini tidak tersedia di kanal musik alir manapun kecuali versi album lengkap yang bahkan bukan di kanal YouTube resmi Tigapagi—,sejatinya adalah sebuah album yang kehadirannya menemani saya ketika saya masih kuliah. Saya menapaki gedung kuliah mulai tahun 2012. Album ini rilis di tahun 2013. Berarti kemungkinan saya menikmatinya di tahun, entahlah, 2014? Di pagi hari, biasanya dalam keadaan belum tidur, saya mengerjakan laporan praktikum yang entah Kimia atau Biologi saya lupa; sembari mendengarkan lagu-lagu dari komputer jinjing saya. Isi dari daftar putar yang ada di sana, yang saya ingat biasanya terdiri dari album Rasuk milik The Trees and The Wild, beberapa lagu acak, dan album Roekmana’s Repertoire. Saya bisa katakan, Roekmana’s Repertoire adalah album penting. Hal ini pernah saya sebutkan ketika saya menulis artikel laporan pandangan mata saat helatan pamer karya (showcase) Perunggu di laman pribadi saya (yang sudah saya tarik turun karena tidak sanggup membayar sewa domain, kini akses di sini) tahun 2022 silam.
Penggalan tulisannya begini, “Sebelum masuk ke ceritaku melihat penampilan mereka, aku ingin Perunggu tahu bahwa album Memorandum kini masuk daftar album paling—nyaris tanpa cela versiku setelah Rasuk (2009) The Trees And The Wild, Roekmana’s Repertoire (2013)-nya Tigapagi, dan yang terbaru adalah Planetarium (2019)-nya Jirapah.”.
Pernyataan tersebut tentu saja bukanlah pernyataan objektif. Buat saya, apa sih—atau siapa sih, yang bisa objektif menentukan album mana yang merupakan album terbaik di muka bumi ini? Kita semua pasti punya nama-nama album terbaik versi masing-masing. Tapi, saya tidak peduli. Buat saya, dan ini tidak boleh didebat, Roekmana’s Repertoire adalah nama album yang harus masuk jika ada satu saja daftar album terbaik yang dilegitimasi entah oleh badan sertifikasi mana saja. Kenapa? Ya sesederhana album ini terlalu magis. Sudah, berhenti di situ. Saya rasa enggak perlu lagi membebani album ini dengan pujian ndakik-ndakik teknis myuziek dan pembedahan narasi sejarah tahun 1965 yang menyertainya. (Sedikit cerita, secara keseluruhan Roekmana’s Repertoire adalah sebuah kisah kelam sosok manusia bernama Roekmana yang sedang melakukan pencarian tentang nilai-nilai yang berkecamuk di pikirannya dan pencarian tentang makna kehidupan walau sudah memasuki usia senja dalam latar belakang suasana September 1965).
Toh, kalau kamu cari di jagat maya pun, pujian terhadap Roekmana’s Repertoire tidak hanya satu. Suara saya ini hanya menambah buih deburan ombak pujian yang memang sudah bertubi-tubi datang untuk album sinting ini. Pujiannya tak pernah berkurang, dari sejak awal rilisnya album ini sampai kini. Album yang dirilis pada tanggal 30 September 2013 ini menuai setidaknya tiga pujian penting yang termaktub di beberapa publikasi. Misalnya, menurut VICE, Roekmana’s Repertoire adalah nomor 10 dari daftar 20 Album Terbaik Indonesia sepanjang 2009-2019. Atau, kalau kamu lebih percaya kata majalah Rolling Stone Indonesia, mereka menyatakan bahwa album Roekmana’s Repertoire menempati posisi ke-2 di jajaran 20 Album Terbaik Indonesia 2013. Tidak luput juga, di salah satu buku terbitan Elevation Books, "This Album Could Be Your Life: 50 Album Musik Terbaik Indonesia 1955-2015", album ini juga masuk jadi yang dijagokan. Belum lagi kata orang-orang di luar sana, pendengar yang tercerahkan, kritikus musik, mas-mbak-mereka-itu yang soundman dan kru, tukang tote bag skena, atau apapun lah; yang ikut berkelindan dan mungkin saja punya sejarah, memori inti atau sekedar pendapat masing-masing tentang album berbahaya ini.
Kalau banyak yang bilang helatan bertajuk Konser 10 Tahun Roekmana's Repertoire Tigapagi ini spesial karena setelah atau sebelum Roekmana's Repertoire rilis tidak ada materi yang diluncurkan, saya pribadi kurang setuju. Lah, wong masih ada lagu lepas Tidur Bersama (2018), yang dibawakan bersama Danilla Jelita Poetri Riyadi. Lagu lepas ini kala itu lumayan bikin gempar juga di linimasa. Tapi kan, Tidur Bersama sampai hari ini masih tersedia di kanal musik alir. Dan mungkin jadi satu-satunya karya Tigapagi yang terpajang di laman resmi selain YouTube. Belum lagi, ada pula Half Awake EP (2006) yang pernah dibagikan dulu sekali lewat akun X resmi Tigapagi, yang mana saya sejujurnya juga belum pernah mendengarkan. Payah. Atau kita mau bahas pula Sembojan EP (2015) yang bisa dibilang sama gaibnya? Penjelasan soal EP ini sekilas hanya bisa saya temukan setidaknya di laman Radio Telekomunikasi Cipta Universitas Indonesia. Tadinya, kita bisa mengunduh secara gratis Sembojan EP ini lewat laman Rolling Stone Indonesia (yang kini sudah jadi laman acak bernama RollingStone.co.id Palugada, saya tertawa saat menemukannya). Ya mungkin, kalau konteksnya menunjukkan bahwa Roekmana’s Repertoire adalah album penuh pertama Tigapagi dan tidak ada (kalau tidak ingin bilang belum ada) album lagi setelah itu, maka kita bisa mengatakan bahwa valid: YA, konser ini spesial untuk album yang semata wayang ini.
Nir-eksistensi album ini atau bahkan rilisan lainnya dari Tigapagi secara resmi pun membuat orang-orang sangat penasaran untuk bisa menyaksikan helatan ini secara langsung. Bagaimana tidak, hanya dalam waktu kurang lebih lima menit, tiketnya ludes terjual. Tiket Konser 10 Tahun Roekmana's Repertoire sendiri telah dijual sejak tanggal 25 September 2023. Acaranya sendiri dilaksanakan tepat di 10 tahun album ini dirilis, yaitu 30 September 2023. Per tiket dibanderol dengan harga 200 ribu rupiah. Setiap orang yang melakukan pembelian tiket akan mendapatkan salinan pengawal (advance copy) dari compact discRoekmana’s Repertoire edisi 10 tahun yang dicetak amat sangat terbatas. Dengar-dengar, jumlah yang dicetak hanya sebanyak kapasitas ruangan saja, yaitu sebanyak 300 buah. Mungkin lebih, entahlah. Saya tidak berhasil mendapatkan keterangan resmi mengenai hal ini. Informasi yang mungkin tidak tepat ini saya dapatkan dari gosip-gosip underground saja.
Ketika selesai acara, saya menyempatkan berbincang dengan beberapa teman yang menghadapi tantangan dalam berperang membeli tiketnya. Mereka bercerita, bahwa skema yang harus dilalui untuk membeli tiketnya adalah mengisi borang di laman Demajors. Borang ini harus diisi dengan alamat dan data diri lainnya jika kamu belum pernah mengakses laman Demajors sebelumnya. Jika yang sudah pernah sih, lancar saja. Permasalahan terjadi kebanyakan ketika sudah ingin melakukan pembayaran. Beberapa jaringan mobile banking saat itu bermasalah sehingga pesananmu rawan tersangkut. Hanya soal keberuntungan dan bagusnya koneksi internet saja yang bisa menyelamatkan kamu di momen itu. Masalah klasik saat perang beli tiket. Bahkan kalau tidak salah amatan di linimasa X, ada juga yang sampai tertipu senilai lima ratus ribu rupiah demi bisa menyaksikan helatan ini. Turut berduka cita.
Bicara soal acaranya sendiri, Konser 10 Tahun Roekmana's Repertoire menjadi penampilan tunggal pertama Tigapagi yang sebelumnya dipimpin oleh Prima Dian Febrianto pada gitar dan Sigit Agung Pramudita pada gitar dan vokal latar. Formasi Tigapagi saat ini diperkaya dengan kehadiran Indra Kusharnandar pada keyboard, synthesizer dan piano, Achmad Kurnia pada selo, gitar dan vokal latar, serta Aisyah Sekaranggi Andjani pada vokal dan synthesizer. Selain itu, dukungan musisi seperti Sidiq Subandrio pada flute, Aji Bhakti pada violin, Adam Senja pada viola, Yasin Jenara pada violin dan R. Feraldi P. juga turut memperkuat penampilan Tigapagi.
Konser 10 Tahun Roekmana's Repertoire menjadi kesempatan perdana bagi Tigapagi untuk berlaga memainkan materi dari album Roekmana’s Repertoire secara utuh. Selama kurang lebih 1 jam 5 menit menurut pernyataan resmi (sialnya saya lupa memastikan durasinya dalam proses menyaksikannya, kayaknya lebih deh, mungkin di 90 menit termasuk dengan video testimoni dan lainnya), Tigapagi memainkan seluruh komposisi dari 14 lagu yang ada di album Roekmana's Repertoire. Konser ini dibawakan dengan menggubah beberapa aransemen baru dan turut menggandeng sederet musisi untuk berkolaborasi, yaitu Bilal Indrajaya, Ida Ayu Made Paramita Sarasvati, Monica Hapsari, Danilla Jelita Poetri Riyadi, Rendi Muhamad Jamhur, Kidung Paramadita dan Ajie Gergaji.
Sementara itu, memanfaatkan kesempatan pertama untuk menampilkan keseluruhan isi album Repertoar Roekmana, Tigapagi menggamit Demajors sebagai pasangan melaksanakan acara. 10 tahun yang lalu, Demajors-lah yang mempertemukan album ini kepada para pendengar melalui compact disc yang mereka rilis. Maka tidak mengherankan jika Demajors sebagai promotor berkenan untuk mengulangi perannya dengan membawa Tigapagi ke atas panggung untuk konser tunggal pertama mereka.
Tigapagi dan Demajors lantas memilih De Majestic Bandung menjadi tempat untuk menyelenggarakan konser ini. De Majestic terletak di Jalan Asia-Afrika (Braga), Bandung, yang merupakan sebuah jenama terbaru setelah sebelumnya gedung ini bernama AACC (Asia-Africa Conference Center). Gedung ini merupakan gedung bersejarah tempat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika pada bulan April 1955. Terlepas dari itu, gedung ini juga pernah memiliki sejarah yang cukup kelam jika terkait dengan helatan musik. Sila Googling, karena saya tidak akan membahasnya lebih jauh.
Tapak tilas awalan Tigapagi, saya ingin mengutip dari tulisan kawan saya Adhi Wirawan Dwi P (eh, kita kawan kan ya?) di laman WordPress-nya. Dalam tulisan Adhi, disebutkan bahwa Tigapagi terbentuk pada tahun 2006. Awalnya beranggotakan hanya Eko Sakti Oktavianto, Prima Dian Febrianto dan Sigit Agung Pramudita. Pada mulanya, Tigapagi mengusung genre post-rock. Tampaknya menarik juga jika kita suatu hari berkesempatan untuk melihat lagi Tigapagi versi post-rock. Namun, seiring berjalannya waktu, dengan segala coba-coba dan utak-atiknya, Tigapagi menggabungkan musik rakyat (folk), ritme pentatonik Sunda dan post-rock tadi menjadi—punten, kalau salah tolong salahin Adhi—folk eksperimental. Ada juga yang menyebutnya folkways experimental. Yang manapun, pokoknya itu lah. Maka seperti yang kita kenali sekarang, Tigapagi adalah unit ensambel akustik dengan genre tersebut yang membawakan nada-nada pentatonik eklektik yada yada; yang tentu saja memiliki ciri khas tersendiri. Mungkin kita tidak akan bisa membandingkan Tigapagi dengan siapa-siapa yang ada di kotak yang sama. Bahkan ketika dulu The Trees And The Wild di album Rasuk turut menyajikan nada pentatonik sekalipun, saya rasa saya tidak berani untuk membandingkan keduanya. Tigapagi berdiri tegak di atas apapun itu nama warna musiknya.
Entah bagaimana caranya, Tigapagi pun rasanya tidak perlu punya sepak terjang khusus untuk bisa bercokol di benak masing-masing pendengarnya. Padahal kalau mau dipikir baik-baik ya, dengan segala tetek bengek pergerakan musik arus pinggir yang (bagusnya) mulai melek dengan sistem berbisnis dalam musik, Tigapagi bisa dibilang tidak melancarkan cukup banyak cara jitu untuk mempertahankan tahta mereka di pasar. Aksi kucing mereka justru menarik perhatian, khas sekali seniman: tidak mengejar popularitas. Diam saja mereka dielus-elus. Kurang kucing apa? Melempar karya besar, jarang-jarang pula. Manggung sesekali. Presensi daring, ada sih. Tapi ya, begitu saja. Keping cakram rilisan pertama album Roekmana's Repertoire pun banyak yang menjual di harga yang tidak masuk akal. Pernah saya lihat di sebuah helatan Record Store Day, ada yang jual di angka satu juta rupiah, bahkan. Segitu di tahun 2018 atau 2019, kalau tidak salah. Lupa betul. Sayangnya saya tidak ada bukti foto untuk menunjukkannya. Pokoknya, saat itu saya kaget sendiri dengan harganya. Padahal aslinya dari laman Demajors saja, Roekmana’s Repertoire kala itu dibanderol hanya tiga puluh lima ribu rupiah. Dan memang hingga saat ini, keping cakram tersebut discontinued. Kelangkaan inilah yang kemudian dijadikan justifikasi meroketnya harga jual. Kadang saya masih tidak habis pikir dengan cara bisnis bekerja.
Ah, cukup. Jadi kemana-mana. Mungkin dari tadi kalian sudah kesal dengan tulisan ini, “Jadi mana ini teh cerita tentang acaranya?”. Sabar, saya bukan murni reporter. Jadi ya sudah, saya mulai bercerita soal konsernya, ya?
**
Malam itu, saya hampir saja terlambat mendapatkan titik tonton terbaik. Beruntungnya saya, di kala penonton sudah memadati ruangan, masih ada satu kursi tersisa di pojok kanan menghadap panggung. Kebetulan, titik ini adalah titik andalan saya baik sekedar menonton maupun jika meliput. Pukul 19:57, pemain musik mulai memasuki panggung dan disambut oleh tepuk tangan para penonton. Para musisi ini masuk ke panggung yang diselubungi oleh kain merah super besar. Kain merah tersebut bahkan menutupi segala bentuk monitor, sound system dan lainnya yang saya kurang paham juga detailnya ada apa saja. Musisi utama yang terlibat mengenakan pakaian hitam putih tanpa alas kaki dalam pengamatan saya. Momennya belum mulai, tapi hawa spiritualnya sudah terasa amat kental. Jika kamu belum pernah datang ke De Majestic, sesungguhnya interior ruangannya hanyalah seperti ruangan sajian audio-visual pada umumnya. Terdapat titik kumpul kosong tempat kursi-kursi dihamparkan. Di atas, ada undakan setingkat untuk tempat awak media dan dokumentasi bekerja. Panggung dibuat berlevel dengan tinggi dari lantai sekitar satu meter, cukup nyaman untuk ditonton sembari duduk di kursi. Tata panggung pun sederhana, tidak ada kemewahan berarti selain jejeran alat-alat musik yang siap dimainkan guna memuaskan dahaga penonton yang datang. Yang jelas, keseluruhan luaran (output) suara dan suasana yang tersajikan tidak bisa dipisahkan. Semuanya kawin-mawin menimbulkan pengalaman menonton maha megah yang bisa dibuktikan dari isi komentar testimoni di salah satu unggahan di Instagram resmi Tigapagi.
Lucunya, ada satu momen ketika penonton jenuh menunggu konser dimulai. Ada iklan salah satu sponsor menyuarakan jargon “Sempurna!” yang diulang-ulang. Karena rasa sebal mungkin, penonton jadi ikut berteriak “Sempurna!” setiap iklan itu muncul. Momen ini lucu sekali jika diingat. Gelak tawa penonton kompak merayakan canda yang mereka buat untuk menghibur diri sendiri.
Sesuai konsep yang memang digadang, 14 lagu yang ada dijahit sambung-menyambung tanpa jeda secara kronologis sesuai dengan urutan trek di albumnya. Pukul 20:04, suara alat musik mulai terdengar. Sebuah komposisi musik dimainkan sejenak sebelum akhirnya Alang-Alang menjadi pembuka. Sesosok laki-laki berpostur tinggi besar menempati titik mikrofon yang ada di sisi panggung kiri. Cukup jauh dari tempat saya berada. Alang-Alang diisi vokalnya oleh Bilal Indrajaya. Jujur, ketika suara Bilal mulai mengudara, serempak seluruh bulu yang ada (jangan tanya ada di mana saja) berdiri. Merinding sekali. Tanpa berkedip dan bahkan tidak peduli rekaman video saya miring, saya terbius menikmatinya. Saya sendiri kalau boleh pengakuan dosa, sama sekali tidak pernah tertarik mendengarkan karya Bilal Indrajaya. Saya bahkan kalau ditanya apa judul lagu Bilal yang terlewat di pikiran saya, saya langsung kalah. Yakin. Tapi, ternyata karakter vokal Bilal sangat masuk sekali untuk membawakan Alang-Alang. Saya jadi memiliki versi lain yang tidak kalah baiknya dengan Alang-Alang yang selama ini saya dengarkan. Ini jadi pengalaman saya menyaksikan Bilal Indrajaya untuk pertama kalinya, dan jadi sebuah momen perkenalan yang tidak akan saya kritisi juga.
Masih bingung dengan lagu pembuka yang ciamik, tiba-tiba habis. Tak ayal, "Erika" pun menyongsong. "Setan," gumam saya. Jujur saja, saya punya keterikatan-keterkaitan tersendiri dengan lagu "Erika". Saya selalu mereminisensi seseorang (terlepas dari gendernya) yang saya anggap sebagai tempat cerita, tempat saya menemukan keamanan, tempat saya menjadi diri saya dengan lagu ini. “You are just too good for me/But you are not so good for yourself//” adalah rapalan yang berulang-kali saya nyanyikan di benak tiap orang-orang yang jadi ‘rumah’ buat saya ketika terbukti nyatanya mereka tidak sebaik itu juga—tapi tetap saja, keberadaan mereka selalu penting buat saya. Padahal, lagu "Erika" pemaknaannya belum tentu begitu, kan? Bagian paling penting buat saya dari konser ini adalah menyaksikan lagu "Erika" secara langsung. "Erika" dinyanyikan oleh Ida Ayu Made Paramita Sarasvati. Cantik sekali beliau. Andai saya bisa memotret, andai saya bawa kamera digital. Saya terpaksa berpuas diri memotret dengan gawai. Magis sekali. Saya hanya bisa mangap-mangap seperti ikan kurang air dan sakit kepala. Inikah yang dinamakan kewalahan memproses emosi?
Lalu, "S(m)unda" dimulai. Momen lain untuk kembali merinding hingga tersentuh sumsum tulang belakang saya. Jika diteliti lebih lanjut, bukan tidak mungkin neurotransmitter saya berlarian berusaha sesegera mungkin menyampaikan segala impuls yang ada agar saya bisa menikmati secara utuh seluruh momennya. Ini bukan klaim berlebihan. Kenapa? Karena hampir semua penonton ikut bernyanyi dengan suara yang halus, lirih, tanpa berusaha menyaingi suara Sigit Agung Pramudita. “Satu per satu hilang dari hidupku/seiring waktu//Satu per satu tiada lagi/beranjak pasti/menghantuiku//” bersahutan tanpa cacat. Suasana dibilang senyap tidak, tapi dibilang gaduh pun tidak. Proporsinya luar biasa pas. Kalau biasanya momen sing-along terjadi dengan di sana-sini terdengar suara sumbang penonton; ini tidak ada. Rasanya suara semua orang mendadak jadi bagus. Entah aji-ajian apa yang diucap sebenarnya. Entah tipu daya apa. Jujur di titik ini, pikiran intrusif saya malah berkelana. Masa iya, ada konser sesempurna ini? Baru tiga lagu, lho. Jelek sekali saya seakan menantikan ada celah yang bisa dikritisi atau dikeluhkan dari acara ini.
"Yes, We Were Lost In Our Hometown" kemudian dimainkan tanpa cela. Ada rasa kosong mencelos di hati saya saat mendengarnya. Apakah saya ikut hilang? Atau selama ini saya memang hilang di rumah saya sendiri? Ada air mata selintas di ujung mata saya. Mengalir tanpa bisa dijeda. Sial, make-up saya buyar masuk kelopak mata dan perih. Mau bagaimana lagi? Saya langsung kehilangan kemampuan saya untuk mengobservasi keadaan sekitar. Saya panik membuat Instagram Story mengabarkan bahwa saya tiba-tiba menangis tanpa bisa dikontrol. Saya kurang suka buncahan emosi yang terlalu drastis. Seharusnya tidak begini. Setidaknya begitulah saya mentah menolak memproses apa yang saya alami.
Fokus saya terhadap apa-apa yang terjadi mulai jelek ketika “Batu Tua” berkumandang. Ya begitu saja lah, jir, speechless? Saya hanya ingat kalau nuansa sekitar mendadak membiru. Warna biru lampu panggung yang jadi salah satu warna kesukaan saya ketika hadir di acara apapun yang ada tata cahayanya. Masih sambil menyeka air mata, saya menikmati momennya. Lantas, “Sorrow Haunts” mengalun sendirian. “Are you listening to the sound/it’s like a hole in the sun?” mengalun terlalu keras padahal di saat yang bersamaan, ruangan juga terasa hening sekali. Penonton sepertinya terlalu terpesona. Entahlah. Karena sejujurnya saya juga sedari tadi. Saya sampai baru sadar bahwa saya tidak merekam “Sorrow Haunts” dan “Heufken” sama sekali dalam bentuk video.
Kesadaran saya baru pulih ketika “Tangan Hampa Kaki Telanjang” dimulai. Di lagu inilah secara khusus saya baru menyadari bahwa suara Aisyah Sekaranggi Andjani lebih definitif dan memukau. Entah kemana ia dari tadi. Mungkin saya yang kurang peka. Lagu berlalu, lantas penampilan dijeda. Panggung tiba-tiba dikosongkan.
Di tengah transisi antara set pertama dengan set kedua di pertunjukkan, ditayangkan sebuah video berisi testimoni dari tokoh-tokoh di kancah musik lokal. Saya hanya sempat mencatat cepat ketika video ini ditayangkan. Giovanni Rahmadeva (Polka Wars) sendiri berpendapat, "Perasaannya masih ngingetin kayak awal dengerin". Lalu, Hasief Ardiasyah (jurnalis musik) ternyata memotong lagu-lagu di album ini untuk dimasukkan ke iPod, sebuah pelanggaran ekstrem buat saya. Terpicu sedikit, tapi mungkin memang harus ada cara-cara tidak lazim untuk menikmati karya ini dari sudut pandang yang berbeda. Saya belum pernah juga mencoba dengan tidak sopannya memutar lagu-lagu di Roekmana's Repertoire secara acak. Mungkin perlu saya coba. Baskara Rizqullah/Basboi sendiri punya testimoni, "Gila ya, band Indonesia ada yang sedalam ini gitu, musiknya, liriknya, proses kreatifnya". Tigapagi jadi salah satu gerbang untuk menemukan musik Indonesia yang kaya banget tapi tidak 'menyebar' di permukaan, katanya. Menurut Delphi Suhariyanto (Dongker), Roekmana's Repertoire temanya masih dekat atau erat dengan ingatan kolektif. Ildo Hasman (Perunggu) menyatakan bahwa, "Tigapagi tuh selalu berasa mistis, unik dan beda. Somehow masih relevan". Tesla Manaf sendiri berpendapat bahwa Batu Tua adalah lagu terbaik dengan lirik terbaik. Firza Achmar Paloh (SORE) pun berkata bahwa ia masih terlena dengan Tigapagi.
Tapi dari semua pendapat yang ada, saya paling tertarik dengan pendapat bersahutan dari Bottlesmoker. Menurut Anggung 'Angkuy' Suherman, "Sigit perlu ada yang ngedampingin" dan Ryan Nobie Adzani mengamini, "Dia seniman tok, nggak bisa ngurusin yang lain selain berkarya." Video testimoni ini ditutup dengan pernyataan David Tarigan "(mendengarkan Tigapagi) menjadi momen reflektif. Tidak perlu memahami narasi tahun '65 untuk menikmati album ini", dan saya setuju.
Setelah video selesai, panggung kembali terisi dan alunan musik kembali berkumandang pukul 20:52. Set kedua resmi dimulai. "Pasir" dinyanyikan bersama Monica Hapsari. Penampilan ini memberikan Pasir dimensi yang sangat berbeda, apalagi ketika Monica Hapsari menyanyikannya dengan sedikit gestur teatrikal. Walau sejujurnya, saya pribadi tentu lebih suka versi aslinya. Untuk lagu "Vertebrate Song (The Maslow)" dan "Happy Birthday" dinyanyikan bersama Danilla Jelita Poetri Riyadi. Danilla terlalu cantik dengan gaun putih menjuntai dan rambut digerai. Anggun. Saya benar-benar salah fokus. Ia juga bernyanyi dengan segenap hati dan menari-nari kecil pula.
Di lagu “The Way”, Rendi Muhamad Jamhur didapuk untuk ikut berkolaborasi di lagu ini. Dia main alat musik apa itu?! Mata saya yang minus ini tidak mampu melihat alat yang dimainkan.
Lalu, Kidung Paramadita berdeklamasi di "De Rode Slaapkamer". Sayang sekali kecepatan jari saya kurang tangkas untuk mencatat seluruh puisi, pun untuk mengingat merekam dalam bentuk suara. Bagian yang masih saya ingat hanya satu kalimat, "Siapa yang paling pengampun? Engkau?”
Pada puncaknya, “Tertidur (þū Scēawast Mec on Slæpa)” dibawakan bersama Ajie Gergaji. Ini adalah sebuah momen puncak, penutupannya bikin merinding lebih parah dari semua lini yang disajikan. Ada momen hening berdetik-detik setelah Tigapagi dan Ajie Gergaji menutup penampilan. Hening tidak nyaman itu entah apa penyebabnya. Yang jelas, sepertinya semua penonton sedang memproses emosi masing-masing sampai akhirnya semua sepakat untuk melakukan standing ovation, merinding parah. Mengingat momen ini sambil melihat videonya masih membuat saya terpukau. Jarang sekali saya punya kesempatan untuk merasakan momen-momen luar biasa seperti itu, bahkan dalam skala band internasional yang sudah pernah saya saksikan. Saya hanya pernah merasakan momen sebanding saat menonton "Kikagaku Moyo" secara langsung. Tapi berbeda, sama sekali tidak bisa disamakan sensasinya.
Dengan hati penuh kekecewaan karena rasanya sajiannya terlampau cepat selesai, saya dan seluruh penonton keluar dari ruangan tersebut dan mengikuti signing session. Di sesi signing kilat yang perorang hanya mungkin berdurasi kurang dari 20 detik, saya langsung merapalkan pertanyaan yang mungkin dipertanyakan oleh semua orang. “Mas, mungkin nggak sih suatu hari nanti album ini ada di digital streaming platform?”, tanya saya sembari menatapnya yang sedang menggoreskan spidol perak ke sampul album saya. Jawabannya sederhana, sambil tersenyum, “Enggak akan.” Buset deh, keluh saya dalam hati. Katanya, beliau belum tertarik dengan Spotify dan sejenisnya, tapi mungkin saja dalam waktu dekat akan ada karya Tigapagi di kanal musik alir, yang jelas bukan album ini. Tigapagi menjelaskan akan mulai proses rekaman untuk album keduanya di tahun depan. Tapi, perlukah? Atau sebanding atau tidak nantinya dengan Roekmana's Repertoire? Standar yang ditentukan sudah terlalu tinggi. Manuver apa yang sebaiknya dibuat di materi selanjutnya? Saya sih tidak meragukan mereka sedikitpun, tapi justru meragukan ekspektasi saya sendiri kala nanti album kedua rampung dan mengudara. Sembari berpikir tentang ini, saya melanjutkan pertanyaan dengan setengah bercanda, “Boleh dibujuk dengan cara di-spam enggak sih mas (supaya yakin untuk unggah di kanal musik alir)?”, jawabannya tetap "Enggak bisa".
Setelah momen ini, saya menyempatkan ngobrol dengan teman saya, Raja dan salah seorang temannya lagi. Kami mengamini bahwa momen paling magis adalah di tiga-atau lima lagu pertama. Tidak ada lagi. Momen di lagu ini sambung-menyambung sangatlah retrospektif dan penuh kenangan bagi kami.
Sebenarnya, dalam hati kecil saya, saya sangat ingin melengkapi tulisan ini dengan bertanya secara langsung bagaimana pandangan Sigit Agung Pramudita soal konser ini. Kan, testimoni orang-orang sudah bertebaran banget secara daring. Saya amat diliputi rasa ingin tahu pikiran Sigit sendiri soal konser ini seperti apa. Apalagi saat tulisan ini dibuat, sudah berapa hari pasca-konser. Ingin tahu juga, bagaimana ia memandang album Roekmana’s Repertoire dari sudut pandang kekaryaan dan penciptaan. Saya selalu berpikir, di balik karya besar, pasti mungkin saja ada ketidakpuasan dari penciptanya. Puja-puji soal album ini kalau mau ditelusuri sih banyak sekali. Terlebih, album ini kan terindeks sebagai album terbaik dimana-mana. Justru karena album ini legendaris dengan sendirinya, saya ingin tahu pandangan Sigit sendiri seperti apa. Tapi entahlah, akankah rasa penasaran saya ini terjawab? Atau biarkan saja menjadi rahasia di lubuk hati Sigit sendiri?
Yang jelas, saya pikir seharusnya Tigapagi jangan pernah kembali lagi. Tetaplah jadi si hilang yang dicari-cari.
Tulisan oleh: Puti Cinintya Arie Safitri Foto oleh: Demajors/Hafiz