“Ini ada space. Pertanyaannya, ‘Kita mau ngapain’?”
Pertanyaan itulah yang ada di kepala saya waktu mas Yulda, mastermind project ini mengajak Terpapar! berkolaborasi, join di event ini. Beliau bilang ingin ada musik-musik’an. Katanya, “Wes suwe gak onok gigs. Pengen nggawe.”
Saya tanya balik, “Emang boleh? Di pasar ini?”
“Serahno aku ae lak soal kuwi. (Serahkan ke aku saja kalau soal itu),” balasnya.
Saya memang tak tahu menahu perkara grand plan pasar ini. Toh saya sudah merantau, meninggalkan kota ini sejak 9 tahun lalu. Baru di awal pandemi, saya terpaksa pulang dan mendapati banyak kejutan.
Salah satunya: Pasar Setono Betek yang konon di-plot sebagai (salah satu) poros kreatif kota ini. Dulu tak ada gedung bertingkat seperti sekarang. Ia hanya kumpulan ruko yang langsung tembus ke halaman belakang; menghadirkan stereotipikal pasar tradisional yang jelas bukan favorit ‘tuk dikunjungi para remaja (baca: saya).
Syahdan, melihat keadaannya hari ini saya takjub dan kadang tak percaya. Kini pasar tersebut dipenuhi anak-anak muda. Entah nongkrong santai di salah satu kafe, menyeruput kopi sambil berdiskusi, atau menjajakan dagangan kreatif mereka. Sebuah pemandangan baru bagi saya.
(Okay, mari kita akhiri nostalgia murahan ini).
Akhirnya kabar baik itu tiba: Lampu hijau didapat. Musik-musik’an (full band) diperbolehkan hadir di pasar. Lalu masalah pendanaan, meskipun konon tak banyak, namun cukup untuk produksi. Dua hal itu dulu yang utama.
Sisanya tinggal menjawab pertanyaan, “Siapa saja yang main?”
Di sinilah Terpapar! hadir. Kami diserah’i jadi “Kurator.” Entitas yang memilah dan memilih siapa-siapa saja yang akan tampil di sana. Tugas berat? Tentu saja. Apalagi kancah musik Kediri memang selalu seru dari waktu ke waktu.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya terpilih 4 pengisi lintas genre yang dirasa representatif menggambarkan Kediri hari ini. Salah satu patokannya: Produktivitas dan progres mereka sepanjang 2021. Selain itu, tentu soal selera dan kesepakatan redaksi setelah rapat-berkedok-nongkrong selama tiga hari tiga malam. (True story).
“Start acara jam 5-an dan harus selesai maksimal jam 9. Itu paling molor,” kata rekan Terpapar! saya.
“Yawis, berarti 4 band aja. Biar los dan gak dikejar waktu,” tutur saya. Secara pribadi, saya sendiri lebih menyukai gigs yang hemat line-up. Paling krusial memang masalah waktu. Semakin sedikit yang tampil, mereka semakin punya kesempatan untuk loss. Tak terlalu dikejar tetek bengek rundown ketat dan semoga, berdampak baik bagi penampilan mereka.
Helatan siap digelar.
**
(Tempo Doeloe. Photo by: Hafidishari)
Sekitar pukul 17.45-an, band pertama naik. Ia adalah Tempo Doeloe. Masyarakat Kediri pasti sudah mengetahui siapa mereka. Mereka telah melanglang buana, dari satu pensi ke pensi yang lain, dari arena satu ke arena yang lain. Khatam dalam segala jenis panggung.
Sebagai unit retro-rock, tentu vibes lawas langsung hadir mengisi pasar sedari genjrengan pertama. Harmoni vokal yang serasi, bassline groovy, serta nuansa bluesy… serasa ada dalam pentas seni kampus; prom night berisi lelaki berjas murah dan perempuan berkepang dua yang berdansa dan berbalas rayuan picisan. Ugh!
(IGMO. Photo by: Hafidishari)
Line up kedua diisi oleh IGMO, kawula rock Kediri yang setahun terakhir ramai dibicarakan kiprahnya. Pandemi memaksa mereka untuk mengurusi “dapuran”; mempersiapkan album, rilis single, dan berbagai aktivitas daring lainnya. Yang ditunggu? Tentu saja Live mereka.
Benar saja, penonton yang sedari tadi malu-malu langsung menuju depan panggung untuk menyambut mereka. Dan kuartet ini membayarnya dengan tuntas. Lima lagu dibawakan, termasuk single “Awesome”, “Peace of Night”, serta fan-favorite “Head on Fire”. Panas, beringas, penuh keringat… seketika pasar sebagai pusat dagang menjadi moshpit berhiaskan baku hantam.
Istirahat sejenak, saya rada menjauh dari stage. Menemui beberapa kawan yang ngos-ngos’an setelah ber-moshpit ria. Oh iya, saya baru tahu kalau Freeya Coffee-- salah satu kopian di situ-- ternyata sampai bikin sesi timeout buat nonton IGMO. Brengsek dan patut ditiru!
(Freeya Coffee. Photo by: KMPL)
Sejurus kemudian, panggung diokupasi oleh gerombolan folk asal Pare, Kiarakelana. Suasana mendadak adem. Ambience yang menenangkan, disusul dengan alunan akustik Adha Buyung, Biassepta, Nookie, dan Galih seperti jadi healing (baca: pendinginan) bagi pasar yang sedari tadi full adrenalin.
(Kiarakelana. Photo by: Hafidishari)
Konfigurasi penonton juga berubah; bila tadi diisi oleh mas-mas kaos hitam penuh gairah, kini Wargakelana (penggemar mereka) yang mayoritas perempuan duduk anteng di sana. Tak terkecuali seorang kawan saya yang sedari tadi berteriak, “MAS BUYUNGGG!!!!!”-- memanggil vokalis-gitaris mereka. Konon, dia mendapuk lagu “Aksara Jiwa” sebagai her daily dose of music caffeine. Saya mengangguk-angguk saja waktu itu. Semoga imajinya akan kuartet itu tidak berkurang kala tahu betapa recehnya guyonan mereka. Ha!
(Anyway, mereka baru rilis lagu baru bertajuk “Berdenyut”. Single tersebut masuk dalam Kompilasi Rakyat yang digagas oleh empat media musik: Igun Sudarmono, Folkslokal, Band Temen Loe, dan Musicvibe. Cek saja di berbagai gerai digital favoritmu).
(Kediri Hip Hop Family. Photo by: Brianhemian)
Waktu menunjukan pukul 20.25. Saatnya penampil terakhir menutup acara. Dan tugas mulia itu diserahkan panitia kepada Kediri Hip Hop Family (KHF). Scratch dan sampling DJ langsung disambut oleh rapalan MC yang bergantian naik ke panggung.
“... Kau hanya gangster di dunia maya!” teriak MC yang langsung saya ikuti di kesempatan kedua. Tentu saya bukan pendengar hip-hop yang taat, namun mendengar rima-rima dan mengamati produktivitas mereka, tak ragu saya angkat topi kepada keluarga besar ini. (Sila cek kiprah KHF di YouTube, mereka cukup rajin rilis karya baru!).
(Suasana KTM Fest. Photo by: Hafidishari)
Line up telah tuntas, panggung pun dibereskan. Sedang acara (jualan) masih berjalan hingga kira-kira jam setengah 10 malam. Saya duduk bersama kawan-kawan yang ngelapak sambil sesekali berbincang tentang acara ini.
“Apik ya acarane. Masuk iki onok thrift dan ben-ben’an sisan. Vibes’e koyok (menyebutkan satu-dua acara clothing fest besar) tapi dalam skala kecil gak sih?” celetuk seorang teman di lingkaran.
Mengenai hal itu, saya mengangguk-angguk saja. Bagi saya, acara ini bukan hanya tentang besar-kecil skalanya, bukan juga prestige atau sebagainya. Sebagai sebuah helatan, Kediri Thrift Market Festival jelas punya satu hal yang lebih besar dari itu semua…
Ia punya daya “menginspirasi.”
Suksesnya KTM Fest ini adalah satu tonggak sejarah. Saya tidak sedang ber hiperbola; faktanya memang demikian. Ia merupakan bukti bahwa ada gelombang budaya baru di Kediri, yang diinisiasi pemuda-pemudinya, dan berasal dari lintas kreatif di kotanya. Sinergi bernafas kolektif antara fashion, visual, dan musik yang cukup jarang terjadi– kecuali dengan backing’an korporasi besar, tentu saja.
Itu satu. Dan di tengah pageblug yang tak kunjung usai ini, keberadaan acara berskala besar seperti ini adalah satu titik cerah yang dinanti. Momentum industri kreatif untuk bangkit kembali– setelah mati suri dua tahun ini. Semua itu bermodal kawan-kawan yang saling dukung satu sama lain. Tak kurang, tak lebih.
Jam 10 lebih, semua tenant mulai beres-beres dagangan. Sedang panggung sudah selesai dibongkar sedari 30 menit yang lalu. Saya juga beranjak– setelah sesi foto bersama kawan-kawan di sana.
“Monggo sedoyo!” pamit saya kepada mereka.
“Monggo mas! Ati-ati, suwon!”
Seiring langkah pulang, sekilas saya bisa melihat rekah senyum panitia setelah acara. Pun sayup-sayup terdengar rasa lega karena suksesnya pagelaran ini. Tentu saja mereka layak mendapatkannya! Semua yang terlibat dalam acara ini telah berusaha dan memberikan semuanya. Sebaik-baiknya, seharus-harusnya, dan sepantas-pantasnya.
(Photo by: Hafidishari)
**
Lampu pasar mati perlahan. Hujan yang sempat turun kini telah reda. Untuk pertama kalinya, saya mengamati tiap sudut tempat ini dengan seksama. Mengingat masa kecil diajak ibu belanja, merengek-menangis minta mainan sembari menutup hidung karena bau amis ikan di samping kiri-kanan.
Dan hari itu, 16 tahun kemudian, saya berdiri di tempat yang sama; sebagai seorang yang sama sekali berbeda. Menua, sedikit dewasa, berharap berguna.
Well, pulang ke rumah tak pernah se-membahagiakan ini.