Loading...

Sepuluh Jejak-jejak Kakinya Vague

Ingar-bingar perayaan 1 dekade album 'Footsteps' milik Vague.
Photos by: Puti Cinintya Arie Safitri
Satu.
Dua.
Tiga.
???
Sepuluh.
 
Angka sepuluh baru saja dicapai oleh sebuah album penuh bertajuk Footsteps. Vague menelurkan album ini 2014 silam. Tahun segitu aku belum mencoba ‘memasuki’ ekosistem permusikan arus pinggir. Atau, sesederhana eksplorasi musikku belum sampai ke Vague. Jadi, bisa dibilang, aku tidak tahu mereka secara men-detail; belum mengulik, cuma tahu nama. Kurun waktu berselang, aku berjejaring dengan Yudhistira, salah satu personil Vague. Ia bilang, aku tampaknya cocok jika ikut merayakan momen dirgahayu ke-10 album Footsteps dengan menulis dan datang ke helatannya. Kaget, karena: “Iya, kah? Yang benar?!”, jerit hati. Tapi, baiklah kalau begitu. Aku tidak menolak. Bodohnya aku jika menolak.
 
Harus kuakui, aku belum familiar dengan Footsteps. Jadi, aku mencoba mendengarkan, mengulik tiap treknya. Masuk dengan sopan ke telinga; yah, paling tidak untuk telingaku, album ini masih sopan. Pintaku, bisakah aku mendapat cerita tentang Vague—terkhusus album ini? Tak dinyana, Yudhis menghujani aku dengan entah berapa artikel, dokumentasi media cetak, dan cerita-cerita menarik tentang Footsteps. Ia bahkan bilang, “Haha, sebetulnya masih banyak. Marcel [aku asumsikan yang dimaksud adalah Marcel Thee] dulu sempat menulis buat The Jakarta Globe/The Jakarta Post tapi kok ya gak nemu link-nya”. Padahal yang ia sediakan sudah sangat lebih dari cukup. Bungah hati ini. Akan coba aku ceritakan ulang, semoga aku berhasil. Rasanya seperti masuk ke dalam sebuah palung yang sangat dalam, lengkap dengan perbekalan yang diberikan oleh Yudhis. Aku menyelami satu per satu jejak arsip yang dikumpulkannya. Artefak pemberitaan dimana-mana. 
 
Membicarakan Vague sendiri, menurutku mereka bukan sembarang unit musik. Mereka berjalan pelan-pelan, tanpa merasa harus jadi apa-apa. Vague juga bukanlah sekadar band—mereka adalah pemicu ledakan nostalgia dan kebangkitan semangat hardcore. Dikutip dari Gigsplay, Yudhis (vokal, gitar), Januar (eks-drum) dan Gary (bass) awalnya memperdengarkan lagu lepas perdana berjudul “Inadequate”. Vague lantas bagaikan bom yang meledak di media sosial saat itu (andai saja aku bisa menyaksikan langsung keramaian tersebut). Single ini berhasil membangkitkan kenangan dan memancing cerita-cerita seru tentang kejayaan Dischord Records. Pecinta hardcore khas Washington D.C. terguncang oleh musik mereka.

 
“'Inadequate', the song is another step up for a band that has grown increasingly confident with each of its releases.”
— The Jakarta Globe
 
 
Ada sematan istilah bahwa mereka menarik-ulang geliat Revolution Summer (1985), seperti Rites of Spring, Embrace, Dag Nasty; Minor Threat, Hüsker Du, Fugazi dan lain-lain—sejujurnya, aku hanya pernah mendengarkan Fugazi, itu pun selewat, sealbum doang. Aku bertanya tentang ‘Revolution Summer’ ke seseorang. Istilah itu ternyata menggambarkan sebuah masa di mana banyak band-band yang dirilis oleh Dischord Records terutama dari DC muncul dan berkembang setelah kancah di sana redup. Knurd.Club menyematkan istilah ini dalam interview-nya. “Dengan kata kunci ‘Revolution Summer’, Vague sendiri mengguratkan sebuah babak baru bagi perkembangan skena post-hardcore lokal.”.
 
Yudhis kemudian menanggapi perihal istilah “Revolution Summer” ini. “To be honest, sound revolution summer atau emo awal ini gak pernah populer di Indonesia, jadi gue yakin ada aja yang mungkin nonton kita tapi ‘gak masuk’. Kalau dulu pas kita awal nongol mungkin terlalu soft buat banyak crowd hardcore. Sekarang mungkin malah kerasa kek band rock tua aja dibanding sound-sound emo yang lebih modern”. Yang jelas, dalam klaim Vague sendiri, mereka mengusung genre punk indie berdasarkan keberadaan elemen indie rock dan  punk. Di sisi lain, Vague dianggap atau digambarkan pula sebagai pengusung genre punk-rock, post-hardcore, emo, grunge, post-rock, emotive hardcore, dan sekitarnya. Urusan genre ini memang kadang rumit (buatku pribadi). Tapi, aku jadi sangat penasaran bagaimana nanti mereka tampil di acara sepuluh tahunan tersebut. Karena genre-genre yang di-mention adalah genre yang sedikit banyak sedang aku pelajari akhir-akhir ini. Big thanks to Vague karena membuatku belajar hal baru.
 
Yudhis sendiri memiliki pandangan secara personal yang menarik dalam menjalani Vague (dan Jirapah). Pemicu munculnya pembahasan soal pandangan ini adalah ketika aku memberi informasi kalau ada warganet yang mencuit, “Sajak Pucat Pasi itu lagu Vague terbaik secara songwriting juga terjelek di bagian mixing mastering alias tenggelam bat bre”. Yudhis bilang, memang karena salah unggah file ke kanal musik alir, makanya volumenya kecil. “Haha, maklum band gak punya manajer jadi suka geblek sendiri”, ujarnya. Lalu kami malah jadi melanjutkan obrolan soal sulitnya menjadi manajer band dan membuat musik menjadi sumber pendapatan melampaui karya semata. “Percayalah, kalau kita ngomongin band yang bisa survive dari main musik aja, baik Vague atau Jirapah itu jauh dari keduanya, dan mungkin gak akan ke arah sana—which is ok”.
 
Ku tanya lagi, “Jadi main musik untuk main musik? Bukan untuk bisnis?”.
 
“Kalau buat gue pribadi di titik ini, iya. Kalo band-nya bisa self-sufficient (gak merugi) untuk bisa jalan terus, that's already pretty good. Tapi buat younger bands, gue ngerti banget kalau ambisinya jauh lebih tinggi dari itu, dan sekarang memang lebih memungkinkan”. Ada benarnya. Tapi mungkin nggak sih pandangan ‘anti-penghasilan dari band’ ini ada karena Vague termasuk band yang ber-privilege? Hanya mereka yang tahu. :p
 
 
 
 
 
Kembali menyelami arsip, “Interview Bersama Vague” yang ditulis di Knurd.Club membuatku mencari blogspot dari Vague. Di sana, isinya bermacam-macam, tapi kebanyakan info gigs kapan mereka manggung. Lucunya, berdasarkan interview ini, Yudhis sendiri lupa kalau Vague pernah punya blogspot. Padahal pas aku lihat, Yudhis-lah adminnya. Dan dari interview Knurd.Club ini pula, aku dikenalkan secara tidak langsung oleh Yudhis tentang Gary. “Aku kasih note sedikit: bassistnya Vague, Gary itu lumayan sebuah karakter. Untuk mengerti maksudnya, bisa baca interview kami dengan Knurd, nanti pasti paham”. Dan ternyata benar, unik! Aku tertawa membaca interview tersebut. Lanjut Yudhis, “Iya, orangnya jenaka, suka gak serius. Tapi secara musikal, ironisnya dia yang paling jago di band.”
 
Lantas, kami berkelakar.
 
Aku: “Biasanya memang gitu gak sih 😃”
Yudhis: “Hahaha gak tau, ini common ya?”
Aku: “Gak tahu. Tapi sepengalaman aku mah, biasanya yang unik-unik memang jago. Banyak hal di kepalanya yang berisik. Atau minimal, zodiaknya Pisces 😂. Dia zodiaknya apa?”
Yudhis: “Hahahaha, dia Libra”
 
Sial, ternyata tebakanku salah.
 
Masih soal Gary, jujur saja aku terkesima dan geli sendiri setiap mengingat jokes yang ia lontarkan ketika di acara Vague: Footsteps 10th Anniversary. (Sorry, tulisan ini bakalan memakai linimasa maju mundur). Jokes yang ia lempar ada juga di dalam zine yang dibagikan hari itu; yang sumpah, garing banget?! Tapi kelihatan sekali kalau ia sangat humble atau mungkin kelewat social butterfly, entahlah. Pasti dia banyak temannya. Penampilan Vague malam itu jadi tambah hangat, apalagi sejak Gary masuk ke panggung memakai dress warna merah muda di atas lutut yang membuatnya tampak menggelikan. Count me in kalau ada komunitas fans berat Gary. Gimmick-gimmick seperti ini selalu berhasil menarik perhatianku.
 
Ah, iya. Balik lagi. Omong-omong tentang Footsteps, sebuah label Malaysia sempat merilis kaset album ini. Label tersebut bernama Tandang Records. Dikutip dari laman resmi Tandang Records, menurut mereka, Vague adalah permata terbaik dari Jakarta yang menghadirkan lini post-hardcore berkualitas. Ngerinya. Selain itu, ada pula Sonic Funeral Records. label yang meluncurkan debut album Vague ini dalam bentuk CD. Menurut mereka, Vague menghadirkan sembilan lagu penuh kekecewaan dan pertanyaan mendalam tentang makna hidup. Walaupun sering dibandingkan dengan raksasa post-hardcore seperti Fugazi dan Dinosaur Jr, Vague mampu melampaui pengaruh tersebut dengan mengembangkan suara unik mereka sendiri.
 
Dikutip dari Sorge Magazine, perlu berulang kali untuk menyelami album Footsteps. Menurut mereka, untuk pertama kali mendengar Footsteps, rasanya seperti dibawa kembali ke masa 90-an yang sarat akan kesenjangan sosial. “Terasa dari permainan gitar dari Yudhistira yang agresif di bagian awal ‘Footsteps’, sejenak pula amarah tertuang dari lirik yang dinyanyikan dengan lantang menggema membuat pekak telinga”, katanya. Aku setuju pada bagian ‘perlu berulang kali menyelami album ini’. Karena jujur saja, itu yang aku lakukan. Berkali-kali memutar albumnya sembari berpikir, “huh, band ini keren”. Tapi apanya ya, atau karena aku suka saja genre-nya? Aku ingin menemukan jawabannya saat menonton langsung nanti.
 
 
“Saya suka album ini karena rekaman mereka berorientasi pada gitar, yang untungnya tidak berlebihan sehingga emosi yang diteriakan oleh Yudhis tidak tertutup bisingnya gitar”.
— Eric Wirjanata (Deathrockstar)
 
 
19 Mei.
 
Itulah tanggal helatan sepuluh tahunan album Footsteps. Perihal acaranya, Vague menggandeng Paguyuban Crowdsurf dan Loud Krap* dalam menyelenggarakan helatan bertajuk Vague: Footsteps 10th Anniversary ini. Vague juga mengajak Ken Jenie dari Jirapah dan Ricky Siahaan dari Seringai sebagai kolaborator.
 
Ada cerita khusus mengenai pemilihan kolaborator.
 
Yudhis berkisah padaku, “Footsteps kan rilis 2014, waktu itu masih ada Rolling Stone Indonesia. Footsteps masuk 20 album lokal terbaik Rolling Stone Indonesia 2014, which is crazy. Lainnya kayak Tulus dan ya begitulah. Editornya Rolling Stone Indonesia waktu itu masih Ricky Siahaan. Terus, kami jadi berteman setelah itu lewat Facebook, sesama penyuka gitar. Dan Ricky besok di gig akan bantu Vague main gitar di 2 lagu”. Untuk Ken Jenie, Yudhis bilang bahwa sebetulnya di lini “Interlude” dalam album Footsteps, Ken Jenie urun nada gitarnya. Tapi, tidak banyak orang yang tahu atau ngeh soal ini. “Menyenangkan, jadi ada kombinasi ‘callback’ dan kebaruan di gig”, pungkas Yudhis.
 
 
 
 
Selain penampilan mereka, Vague juga mengajak funeruuu, The Kuda (yang memainkan EP Mistery Torpedo) dan Toast. Karcis dibanderol seratus dua puluh lima ribu rupiah. Artwork helatan dibuat oleh Rega Ayundya Putri. Rega adalah seniman yang membuat ilustrasi untuk Footsteps dahulu kala. Saat itu, Rega membuat setiap gambar yang mewakili setiap lagu dalam album, disusun dan dicetak sebagai buklet di dalam CD. Lihat hasil karyanya di sini. Untuk acara ini, Rega kembali terlibat dalam penggarapan seluruh komponen visual. Vague juga menyediakan zine dengan menggandeng Hilmi (Whiteboard Journal) sebagai editor.
 
Entah jam berapa aku sudah berada di kawasan Blok M. Lupa, jam 5 sore, mungkin. Aku memutuskan untuk mengantri Kopi Tuku sebelum mencari di mana Krapela. Setelah menghabiskan es kopi susu tersebut di sebuah kursi seberang gedung Row 9, aku bertanya ke satpam di mana helatan ini akan diadakan. Ternyata semudah naik lift ke lantai lima gedung tersebut. Di atas, beberapa orang yang sudah menukarkan tiket dengan gelang berkumpul di area merokok sebelum masuk Krapela.
 
Menit demi menit berlalu. I'm so bored. Sudah merokok tiga batang belum ada juga tanda-tanda acara akan dimulai. Lalu, pukul 18:43, para penonton diminta untuk memasuki ruangan. Ini jadi pengalaman pertamaku menonton acara di Krapela. Norak sekali. Ternyata bentuknya semi-bar dengan ruangan cukup luas dan undakan satu level. Di dalam, dilarang merokok.
 
Toast didapuk menjadi penampil pertama. Sejujurnya, ini adalah pertama kalinya aku tahu dan mendengar nama band ini. Selalu ada excitement tersendiri untuk bisa menonton live sebuah band yang kamu tahu keberadaannya saja tidak. Kepalaku bergoyang-goyang seperti boneka mampang menyaksikan mereka, padahal paham lagunya saja tidak. Asyik juga Toast ini, gumamku. Sayang sekali aku tidak mengikuti sepak terjang mereka dari awal. Mungkin akan ku tambahkan mereka ke daftar putarku. Tapi, entah mengapa, moshpit-nya diisi oleh orang-orang yang agak malu-malu kucing; mungkin suasananya belum panas. Baru di lagu-lagu akhir mereka moshing dengan bebas.
 
Pukul 19:37, The Kuda naik panggung. Beberapa lagu mereka bawakan. Dalam catatanku, mereka membawakan “S.O.S”, “Jurig”, “dosa”; dan tentu saja sesuai janji mereka, Mistery Torpedo set penuh. Penonton berjoget dengan gayanya masing-masing, lucu banget. Ada yang jogetnya kayak kepiting. Kocak. Penonton berbagi mic dengan vokalis berkali-kali. Penonton juga tertawa di beberapa momen. Pembawaan vokalisnya memang lucu. Sempat ada crowd surfing juga. Aku mulai menikmati acara ini walau tetap tidak bisa sing along karena tidak hafal sama sekali repertoarnya. The Kuda bagi-bagi stiker di tengah permainan. Aku dapat satu. Yeay, lumayan, buat ditempel di helm.
 
Penampilan selanjutnya diisi oleh funeruuu. Aku sempat mengobrol daring dengan vokalisnya, membahas album There's a fallen tree in Juanda (maaf Lutfi, artikelnya belum naik, sabar ya). Lalu sekarang aku dihadapkan dengan situasi menonton live mereka pertama kalinya. Aneh. Sudah, itu doang impresi awalnya. Penontonnya juga aneh. They are weird in a positive way, but cool, tho. Aku sudah tidak peduli lagi apa saja isi setlist-nya. Aku hanya ingin menikmati vibes-nya saja. Band dengan gimmick dan genre caur bin cair. Kupingku terpelatuk di salah satu lagu, “arab fune”. Apa nih, keseruan ala-ala Ali. Boleh juga. Terus, aku juga menyaksikan sendiri bagaimana aksi Lutfi membanting gitarnya. Waktu itu agak ramai di media sosial, kalau tidak salah saat mereka tampil di Gigs Stage (koreksi aku jika bukan). Entah banting gitar itu sebenarnya biar apa. Cuma Lutfi dan kawan-kawan yang paham aksi panggung ini penting atau tidaknya. Tak terasa, bergaung kalimat “Ada cahaya di ujung jalan//”, penonton terdepan berjoget sambil ikut menyuarakan kalimat tersebut dan panggung sudah mulai dibersihkan dari set mereka.
 
Yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Vague memasuki panggung. Masing-masing personil tampil dengan gaya andalannya. “Intro” dimainkan, dilanjutkan dengan “Footsteps”, lagu pertama di album yang sepuluh tahunan ini. Tiba-tiba, Jan masuk dan mengisi vokal di lagu “23”. Aku tidak menyangka bahwa Jan akan ikutan tampil pula, atau aku yang tidak tahu informasinya. Penonton terlihat sangat menikmati acaranya, aku pun. Aku bahkan sedikit ikutan mengangkat Jan saat ia crowd surfing. Seru sekali. Saat lagu ini, posisi drum diisi oleh Beje, drummer terbaru Vague. Well, salam kenal, Beje.
 
Setelah beberapa lagu, Ken Jenie masuk di posisi gitar saat lagu “A Giant Blur” dan “Interlude”. Jan juga masuk ke posisi drum menggantikan Beje sementara di lagu “Interlude”. Aku yang nge-fans banget sama Ken Jenie dibuat agak megap-megap karena “Interlude” versi live sangat amat bertenaga di tangannya. Sudah disebut pula di atas bahwa penampilan Vague sedikit-sedikit diselingi celetukan tidak penting dari Gary yang menghibur.
 
Setelah “Fade” ditampilkan, Ricky Siahaan mengisi posisi gitar di lagu “Unquestioned Answer”. Ada kejadian menarik di sini. Entah kabel atau efek gitar Yudhis, copot. Seketika panik dan membuat awak Vague mungkin deg-deg-ser sendiri. Untungnya, hal tersebut bisa diantisipasi. Vague pun akhirnya mengulang lagu barusan. Puncak permainan mereka berada di lagu “Inadequate”. Pecah banget. Penonton bernyanyi bersahutan. Merinding. Sampai akhirnya, “Sajak Pucat Pasi” dimainkan untuk menutup penampilan mereka. Semua senang, ditandai dengan tepukan meriah dari para penonton.
 
 
 
 
Secara keseluruhan, aku sangat menikmati helatannya. Mereka tampil bersih dan rapi. Paling, aku merasakan ada yang berbeda dari album Footsteps yang ku dengarkan lewat kanal musik alir dengan yang dibawakan live. Yang pertama, vokal Yudhis terasa terdengar jauh berbeda. Kayak lebih matang saja sekarang. Yang kedua, sekarang drum diisi Beje, sedangkan versi ‘aslinya’ diisi oleh Jan. Jadinya, aku sekarang punya dua versi album Footsteps di dalam kepalaku, rilisan 2014 dan live 2024. Menarik. Hanya saja, sejujurnya aku berharap semua lagu dalam Footsteps dibawakan secara berurutan tanpa ada lagu lain dari semua rilisan mereka yang pernah ada. Entah mengapa mereka memilih setlist seperti yang sudah disajikan. Sedikit membuat aku keki karena aku sudah berusaha menghafalkan albumnya secara berurutan. Tapi, tak apa! Ini urusan pribadiku dengan ekspektasiku sendiri.
 
Sepulangnya dari helatan dan beberapa hari setelahnya, aku masih beberapa kali mendengarkan album ini, sambil ini itu. Aku suka sekali dengan "Footsteps", "A Giant Blur" dan "Inadequate". Aku akan membiarkan album bagus ini masuk ke On Repeat Spotify-ku. Aku pun sepertinya sudah menemukan jawaban kenapa Vague adalah band yang keren. Album Footsteps terkhusus, sangat nyantol di telinga dan perlu diputar berulang. Seperti kata Felix Dass, “Vague dengan debut albumnya, 'Footsteps', merupakan penegasan akan penemuan alam raya tentang betapa indahnya sisi negatif hidup. Saya tidak bisa berhenti memutar album ini.”. Semua orang harus mendengarkan Vague, mau album ini ataupun bukan. Berlebihan? Kurasa tidak.
 
Jadi, Vague mau ngapain lagi nih setelah merayakan 10 tahun dirgahayu Footsteps? Kita lihat nanti.
 
=
 
 
Semua foto dan teks oleh Puti Cinintya Arie Safitri
 

Tentang Penulis
Menulis, memotret, tapi lebih sering main Township.
View all posts