Majelis Lidah Berduri adalah grup musik yang gagah dan dewasa. Ketika pertama kali mempunyai pacar dan merasakan kehidupan asmara perkuliahan bersama lagu "Tentang Cinta" hingga mendapatkan kekuatan merelakan dari lagu 'Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa', Melbi (sapaan akrab kolektif tersebut) mampu mendampingi setiap langkah demi langkah melalui musik dan liriknya, hingga mempunyai sikap dewasa atas realitas yang dilaluinya.
Saya kira, saya terlampau telat mengenal Melbi. Ya, saya ingat pertama kali mendengarkan penggalan lirik lagu "Bioskop, Pisau Lipat" di Instagram story teman saya kuliah, pada 2019. Teman saya itu lebih lama mengenal Melbi. Bahkan merchandise yang dirilis oleh Melbi selalu ia dapatkan, padahal merchandise yang dirilis oleh Melbi selalu tak banyak. Alias terbatas.
Setiap bertemu, setiap membicarakan musik, dan kata yang keluar dari mulut teman saya itu pasti tak jauh dari Melbi. Melbi, Melbi, dan Melbi. Mulai dari membicarakan musisi lokal, pergerakan musik lokal, album-album, dan ujung-ujungnya pasti membicarakan siapa itu Melbi? Siapa itu Ugoran Prasad? Dan siapa personil-personil yang gagah-gagah itu?. Menyenangkan bukan, jika membicarakan kesamaan selera.
Ketika waktu kuliah di UIN Tulungagung, saya ingat, tak ada satupun teman sekelas yang mengenal Melbi. Ya, mungkin Melbi ada di luar radar mereka. Saya pun mengenal Melbi juga karena teman saya yang beda jurusan. Biarkan ini menjadi memori awal saya mengenal Melbi. Semenjak itulah saya mulai mengenal Melbi dan mengagumi karya mereka.
Sebelum pandemi ada, saat persoalan terbesar saya dalam hidup adalah ujian eksakta. Saat itu musik menjadi pelarian saya dari kenyataan, sehingga menjadi sebuah peristiwa yang indah dan tentunya menyenangkan. Pulang dari kampus menuju kontrakan paling aduhai memperagakan Ugoran dan menyanyikan lagu "7 Hari Menuju Semesta".
Setiap hari Sabtu dan Minggu, saya selalu menyempatkan pulang ke kampung halaman, tepatnya Kediri. Di sepanjang perjalanan menuju rumah, "Pulang Kampung" menjadi teman saya di setiap perjalanan menuju rumah. Kerinduan akan keluarga dan kampung halaman semakin kuat jika ditemani oleh lagu ini. Tetapi lagu ini juga membawa saya mencari makna sesungguhnya pulang kampung?
Secara kultural arti pulang kampung adalah mudik, dan mudik adalah sebuah keharusan bagi orang-orang perantau yang jauh dari kampung halamannya. Sedangkan secara moral, mudik adalah sebuah ta'dzim atau bakti anak kepada orang tua. Ya, itulah makna pulang kampung bagi saya.
"Seberapa jauh diri kamu, seberapa sukses, atau bahkan masih pengangguran, jangan lupa pulang ke rumah. Keluarga adalah rumah bagimu", itulah salah satu kalimat yang keluar dari mulut ibu yang sering kali saya dengar. Berulang-ulang setiap pulang kampung. Kultur semacam ini terbentuk karena lingkungan saya yang dekat dengan Pondok Pesantren. Hal-hal yang berbau dengan kultur dan spiritual terbentuk secara dinamis di kampung halaman berkat Pondok Pesantren.
Ketika di rumah, saat ada waktu kosong, saya menyempatkan diri untuk memutar lagu "On Genealogy of Melancholia", ibu saya yang tak paham bahasa inggris itu hanya bisa marah dan kesal kepada saya, karena waktu ibu mendengarkan ceramah KH. Anwar Zahid terganggu. Tapi tak apalah, sebab sesuatu hal yang kita suka belum tentu disukai oleh orang yang kita cintai.
Saat ada wabah yang namanya pandemi, semua orang dihantui oleh rasa ketakutan yang amat luar biasa. Sehingga setiap aktivitas manusia terbatasi; sosial, ekonomi, politik dan bahkan pendidikan. Pada waktu itu, muncul surat edaran dari rektor bahwasannya aktivitas perkuliahan yang awalnya tatap muka diharuskan kuliah daring. Banyak dari teman saya selama dua tahun lebih yang merasa ketakutan oleh pandemi. Beruntung, saat itu saya sudah kenal Melbi lebih dulu, sehingga rasa takut akan suatu hal sudah dihancurkan oleh yang namanya sikap kedewasaan itu sendiri.
Saya mendengarkan "Bulan Madu", salah satu track di album Balada Joni Dan Susi secara sembunyi-sembunyi. Menyembunyikan identitas diri dari penggemar Majelis Lidah Berduri, karena menjadi penggemar Morfem, The Jansen, dan Dongker tampaknya lebih keren. Tapi jika kamu rindu akan kampung halaman, kamu tidak mendengarkan "Bertaruh Pada Api", tapi mendengar “Pulang Kampung” sembari menghayatinya.
Perihal mengikuti tren, hanya membuatku percaya sebatas bagus dan jelek, dan seorang yang berbeda selera musik, saya beranggapan selera mereka jelek. Hanya seorang teman, Randy Kempel, secara terbuka dan merdeka menjadi penggemar tanpa kalimat menjatuhkan, tapi entah didalam hatinya. Saya tidak tahu.
“Membicarakan sebuah musik itu jauh dari kata bagus dan jelek, jauh dari kata suka dan tidak suka", ucap Randy Kempel.
Seni membuat saya lebih bisa menghargai apa yang ada, apa yang hadir pada kita sesuatu yang wajar, lantas dengan musik membuat saya sadar bahwa ada banyak hal yang layak untuk saya apresiasi, dan layak untuk disyukuri atas keberadaanya, karena dengan seni dunia terasa hidup dan lebih berwarna. Kiranya itulah yang saya tangkap dari perkataan teman saya itu.
Saya kembali mendengarkan secara intim Majelis Lidah Berduri setelah mereka merilis single "Serampang". Saya baru sadar bahwa Melbi hadir beriringan dengan kedewasaan penggemarnya. Melbi, ya, Melbi. Mereka tetap sama dan tetap dijalannya. Mereka adalah orang-orang biasa yang secara ikhlas menemani disaat saya merasa sendiri.
Saya pikir, kita perlu mengucapkan terima kasih pada Melbi yang setia menemani proses kedewasaan dari tahun ke tahun yang amat berat, untuk lagu-lagu yang setia menemani kita sepanjang waktu, dan untuk kita yang merasa terwakilkan oleh karya musik yang mereka ciptakan.
- Ricky Alfandi
Tak perlu mencantumkan biografi singkat. Saya hanya mas-mas biasa yang sering naik motor beat merah yang kebetulan sudah akarab dengan admin 1