“Kenapa ya speaker itu disebut ‘salon’?”
Komentar kawan saya, @kuntilawak tempo hari membuat saya berpikir lagi. Pertanyaan ini sejatinya sudah pernah saya tanyakan ke bapak-ibu. Alhamdulilah belum ada jawaban memuaskan selain “Yo ket ndisek ngono.” Wkwkwkwk. Hey, sobat Sastra Indonesia-ku, adakah yang paham?
Kecurigaan saya: Ini satu ragam metonimia. Menyebut satu merk untuk menggambarkan sesuatu yang umum. Misal saya menyebut “Tamiya” untuk mobil 4WD, “Odol” untuk pasta gigi, atau “Honda” untuk sepeda motor. Tapi sejauh ini, saya belum menemukan merk speaker “Salon”. Jadi sepertinya ini bukan jawaban.
Ngomong-ngomong soal salon, saya pernah “merakit” rangkaian sound system secara mandiri. Itu waktu SMP. Modalnya satu tape yang jadi source mixer (di sini nyebutnya ampli), 2 buah speaker polytron, plus dua subwoofer. Saya taruh di kamar dengan konfigurasi “sak kenek e”. Yang penting ketok surround. Padahal yang disetelpun adalah MP3 bajakan (pula kompresan) dari Sony Ericsson K630i bermemori 1 GB, yang konektornya sudah aus.
Oh iya, perkara “surround” ini, saya jadi ingat label DTS di kaset album Tani Maju. Akronim ini sejatinya berarti Digital Theater Systems, namun di tangan mereka, jadinya malah komikal: “Dikira Tidak Surround.” Bajingan!
Kembali ke salon, sayapun iseng-iseng mencari jawabannya di belantara internet. Dalam forum Solfegio ada pendapat menarik, “Zaman dulu, speaker hanya dimiliki usaha-usaha besar (partikelir) cem losemen dan salon. Mungkin itulah kenapa disebut ‘salon’.” Hmmm, entah benar atau tidak. Tapi ya lumayan masuk sih. Perkara ini, saya malah jadi ingat sebuah tulisan yang berargumen bahwa “Wajah musik pop Indonesia pra-internet kebanyakan diubah oleh kelas menengah atas. Karena, hanya mereka yang punya resource dan akses akan musik-musik baru, terutama kaset-kaset luar negeri.” Semisal cerita KLa Project tentang musik mereka, “Kami suka banget sama Duran Duran” atau Ahmad Dhani yang konon telah familiar dengan TOTO & Queen jauh sebelum merekonstruksi karya-karya mereka di bandnya.
Sekarang, internet terbuka lebar. Musik tinggal satu ketukan jari. Pertanyaannya: Apakah selera kita juga ikut bertambah “luas”? Atau malah, kita semakin bingung karena dunia makin serbaneka?
Okay, jadi kenapa speaker disebut “salon”?
-KMPL-
*Tulisan ini pertama kali dimuat di akun Instagram penulis