Loading...

... Berlarian Menuju Festival'an

Tentang pengalaman bau kencur; terkagum-kagum kepada skill kawan, menonton festival rock, serta relevansinya dengan keadaan sekarang
Thibault Trillet from Pexels
Saat SMA, saat saya baru belajar petikan “Always Somewhere”, kawan sekelas saya sudah mahir solo Avenged (Sevenfold) yang paling sulit sekalipun. Beberapa lainnya bahkan sudah hafal “The Dance of Eternity” di luar kepala. Dan ajang unjuk gigi mereka adalah Festival Band.
 
Di mana posisi saya? Well, tentu saja, jadi penonton mereka.
 
Sebagai penonton festival, tentu kehadiran saya penting gak penting. Penggembira saja. Tapi entah kenapa saya menemukan berbagai keseruan & renungan sendiri dalam karir “pupuk bawang” itu. Terutama menambah referensi musik-musik’an saya pribadi. Sebagai pendengar tentu saja.
 
Ya, lewat festival-festival cem ini, saya diperkenalkan kepada musik-musik njlimet cem Dream Theater dkk. Gak cuma itu, saya juga akhirnya tahu bahwa band bernama God Bless, yang punya lagu se-mellow “Rumah Kita” itu ternyata pernah merekam album maha dahsyat berjudul Cermin.. Dan tentu saja, saya juga berkenalan dengan band Kediri bernama U9– dan lagu “Ilusi” mereka yang jadi standar festival itu.
 
 
 
 
Lebih dari itu, saya jadi tahu bahwa festival semacam berpengaruh akan “derajat” pemainnya. (Konon medali festival itu sama sakralnya dengan foto wisuda). Jika pernah juara/menyabet gelar Best Player, biasanya namamu akan diperhitungkan di sekitar. Semacam “disegani” layaknya banyak so-called “senior” di sebuah kumpulan. Bedanya, yang satu ini karena skill– bukan fakir atensi atau gila hormat.
 
Itu satu. Yang kedua, biasanya beberapa festival menjanjikan kontrak rekaman untuk juaranya. Inilah yang saya bilang bahwa festival adalah satu dari dua cara lumrah untuk mencapai stardom. Keterkenalan. Imaji-imaji kehidupan rockstar bermandikan ketenaran.
 
Cara kedua? Melalui A&R Label (major). Entah dengan mengirim demo atau jadi special snowflake yang ditemukan. Keduanya sama-sama butuh keajaiban.
 
Kabar baiknya: itu 1 dekade yang lalu. Hari ini, dengan semakin mapannya internet & mudahnya produksi, serta semangat (yang kadang mengarah ke fetisisme) akan segala hal berbau “indie”, semua relatif makin mudah.
 
Setidaknya, kita tak perlu jadi dewa gitar atau mengemis kasihan pada label besar ibukota, to?
 
-KMPL-
 
Tulisan ini sebelumnya dimuat pada blog pribadi penulis, defisitreferensi.wordpress.com
 
 

Tentang Penulis
Sepertinya Admin 1.
View all posts