Loading...

​'Heterochromia'... Album Sekali Berarti Lalu Mati (Suri)

2 tahun lalu, sebuah album menarik dirilis...
Artwork by: Sugarnuts Creativespace
“Bajingan! Akhire onok band koyok ngene!”
 
Adalah kata-kata pertama saya kala mendengarkan Morisade. Itu medio 2019-an, kala saya berkunjung ke studio seorang kawan. Di sanalah ia menunjukan salah satu materi mereka, band muda yang baru saya ketahui malam itu.
 
Tentu ada alasannya. Begini, saya tentu punya gambaran "band ideal" di kepala saya. Saya tumbuh besar di Kediri, tepatnya di lingkungan para pemusik festival yang mengejar skill. Mereka adalah pemuja taat Dream Theater, A7X, hingga Billy Sheehan; para virtuoso yang diberi anugerah skill mumpuni (dan nasib bagus).
 
Meski tak pernah ikut (main) di festival, pengaruh-pengaruh itu merasuk ke dalam diri saya. Bahkan semakin "parah" seiring waktu. Terutama saat saya menemukan Yes, King Crimson, Gentle Giant, Genesis, dan God Bless; unit-unit prog yang jauh lebih lawas dan sophisticated. Keluarga saya juga pendengar taat Dewa 19. Dan di akhir masa kuliah saya, KLa Project menjadi nabi palsu saya berikutnya.
 
Jadi kalau ditanya, “Bagaimana gambaran band idealmu?” Tentu jawabannya adalah “teknikal, rada progresif, tapi tetap easy-listening.”
 
… Itu semua tercentang sempurna di Morisade.
 
**
 
Malang, kata para penghuninya, memang kelewat sempit. Hal itu benar adanya ternyata. Sekitar 3 minggu setelah sesi hearing pertama itu, saya berkenalan dengan Mayedha (bassist) di sebuah gigs di Gedung Kesenian Gajayana. Hal pertama yang saya bilang ke dia, “Aku ngefans ambe band-mu, temenan! Kapan album?”
 
“Wah, suwon mas. Iki proses sih,” katanya. Percakapan berlanjut dengan remeh temeh 5W+1H seperti fakta bahwa nama mereka dulu adalah “Morning Vibe”.
 
“Lalu ganti Morisade. Karena apa? Ya karena kata-nya bagus aja,” lanjut Mayed.
 
Seiring waktu, saya semakin sering bertemu Morisade; terutama Mayed dan Fahem (vokalis-gitaris). Saya gak terlalu akrab dengan Munim (gitaris) dan Nugie (drum). Entahlah. Mungkin karena mereka relatif jarang saya jumpai saja. Dari beberapa percakapan itu, saya bisa menggambarkan Morisade dalam perspektif saya.
 
Fahem, vokalis yang beberapa kali lolos audisi kontes bernyanyi itu adalah singer-songwriter berbakat. Lagu-lagu karangannya punya sensibilitas luas. Anda bisa menemukan John Mayer, The Beatles, dan Utha Likumahuwa di saat yang bersamaan. Vokalnya juga cukup baik-- not to mention, ia memiliki skill yang sama baiknya bermain gitar. Bersama Munim (yang kini berstatus mantan personel), ia bertanggung jawab penuh atas isi-isian gitar di album ini. Dari yang melodis dan poppish, hingga rada outside dan progresif.
 
Sedangkan Mayed, selalu punya bassline yang membuat para bassist kelas teri—saya salah satunya—memilih ikut The Strangers & membakar instrumen saya. Hijrah, daripada disuruh menyaingi cabikan low-end bapak-bapak penggemar filsafat ini. Bassline bikinannya seakan tak ingin “main aman". Style-nya bisa semelodis Geddy Lee, namun se-groovy James Jamerson di saat yang sama. Bajingan!
 
Dengan modal seksi ritmis se-solid itu, drummer medioker manapun akan langsung keder untuk menemaninya. Untung saja Nugie melakukannya dengan sangat baik. Ia memberikan ketukan-ketukan yang menjadikan ketiga orang di atas "menari" bebas.
 
Bersama, mereka punya kemampuan meramu kompleksitas dalam sebuah lagu yang easy-listening. Materi-materi album ini jadi buktinya. Banyak lagu yang sekilas hanya pantas dibuat bersantai, namun di dalamnya tersimpan beragam kecerdikan musikal.
 
 
(Photo by: @berrylreynaldy)
 
 
Nah semua itu, termaktub dalam Heterochromia, album debut mereka.
 
Semisal trek "Fraction of Happiness.” Dari pembukanya saja, kita sudah disuguhkan nomor yang super groovy. Perhatikan betapa sombongnya bassline Mayed pada lagu ini, yang dipertemukan dengan isian-isian gitar yang rendah hati dan “sopan masuk ke telinga.” Diskusi ini bisa berlanjut karena ada kejutan berupa beberapa swing section di tengah lagu ini. Cukup berani!
 
Trek selanjutnya adalah “I’m Not the Man.” Masih ingat kata-kata saya bahwa ada sisi Utha Likumahuwa dan pop kreatif 80-an dalam album ini? Nah, lagu ini contoh sahihnya. Bluesy, seksi, nakal... cukup membuat gentar band-band sejenis bila saja mereka serius menapaki karir. (Sekali lagi, bila saja).
 
Materi-materi lain di album ini bernuansa sejenis. Pop rock dengan sentuhan keliaran di sana-sini yang-- untungnya-- tak sampai pretensius. Favorit pribadi saya adalah “Alright". Sedangkan algoritma Spotify bilang bahwa “Dalam” adalah trek kesukaan warganet. Terserah anda mau percaya yang mana.
 
Sebelum lanjut, tentu album ini bukan tanpa cela. Di dalamnya sempat ada momen-momen membosankan. Beberapa materi terkesan lemah hingga jadi angin lalu; seperti "Letih" atau "Watching You Go" yang selalu jadi korban skip saya. Entah karena bertele-tele atau alasan apapun. (Dan mungkin bisa ditutup dengan kata "gak cocok aja"-- seperti yang sudah-sudah). Kemudian, materi-materi album ini cenderung tak punya hook-hook (vokal) memorable. Ini penting gak penting sih, tapi setidaknya akan sangat menarik bila bisa ada beberapa lagu. Begitupun di departemen lirik. Saya rasa banyak sisi-sisi yang bisa dipoles lebih lagi. Toh, Mayed adalah pelahap buku yang rakus dan Fahem cukup ahli dalam menemukan nada-nada catchy, kan?
 
Okay, kita sudahi racauan di atas dan langsung menuju kepada magnum opus album ini.
 
Bicara tentang Morisade akan terasa “ampang” (kering) kalau cuma ngomongin lagu-lagunya yang aksesibel. Sebagai kumpulan musisi (dengan skill mumpuni), mereka punya satu anak yang kelewat badung: Trek pamungkas berjudul "Healed". Mengenai lagu ini, kata Fahem pada satu kesempatan, “(Healed) ini semacam habis-habis’an wes. Kami berempat memeras otak dan musikalitas kami ke titik maksimal, menghasilkan karya yang cukup eksperimental di album ini.”
 
Benar, “Healed” adalah nomor yang “musisi banget.” Banyak sekali kesombongan di dalamnya. Dari detik pertama saja sudah disuguhi riff dalam hitungan 5/8, sebelum kemudian rada nyantai dengan 6/8 di verse dan reff. Oh dan jangan lupa, solo gitar outside dari Munim di tengah lagu yang mengingatkan saya kepada satu-dua progresif yang saya dengarkan di game Guitar Hero. (Coba cek “Impulse” dari An Endless Sporadic, atau beberapa solo John Petrucci). Bagi sesama kreator (musisi), nomor ini pantas dipelajari lebih lanjut sebagai bahan studi.
 
Sudah paham kan pisuhan saya di awal tulisan?
 
**
 
Okay, jadi Anda sudah membaca, mendengarkan, dan mulai menunggu album kedua mereka? Eitttsss... tunggu dulu sebelum anda menyelesaikan bacaan.
 
Dengan karya semenarik itu, akan sangat wajar bila penggemar mereka berharap ada hal baru. Sayapun demikian. Setelah rilis, saya menemui Fahem dan Mayed. Bertanya tentang planning dan tetek bengek ke depannya. "Ya nyante dulu. Habis itu gas materi-materi album kedua," kata mereka. Sebuah janji yang belum kelihatan hilalnya. Hingga hari ini.
 
Bahkan buruknya: Mereka terpantau tak aktif. (Paling banter ya tiga-empat panggungan dan beberapa post IG).
 
Mengenai kenapanya, saya tidak tahu. Satu yang pasti, Fahem lebih fokus membangun solo project-nya. (Yang dalam beberapa hal, sepertinya lebih worth it dikejar). Namun dari beberapa chat dengannya, saya bisa mencium bau-bau kerinduannya akan atmosfer ben-ben'an; bikin lagu bareng, berdebat aransemen, dan sebagainya.
 
Well, perkara ini sebenarnya sudah biasa. Band memang lalu lalang, berlalu dan menghilang. Harus selalu dimaafkan karena siklusnya memang seperti itu, to? Tapi ya itu lho brengseknya: Heterochromia adalah album menarik; potensial untuk dilanjutkan, dieksplor lagi, dan mempunyai sekuel. Inilah yang membuat saya punya semacam love-hate thingy dengan mereka. Like, Heeey! Kalian habis rilis karya bagus, bikin orang-orang (saya, salah satunya) jatuh cinta, dan lalu menghilang begitu saja? Mana tanggung jawabmu!? Bajingan! (Izinkan saya rada egois sebentar, okay?)
 
Namun kembali lagi, sepertinya saya dan kalian harus belajar mengikhlaskan. menerima fakta bahwa tak semua orang siap berjibaku dalam dunia musik yang mahal secara produksi, namun minim bahkan gratis secara apresiasi ini. Dan untuk ini, saya akan mengulangi apa yang saya tulis tentang Oddwain– band bagus lain seangkatan mereka:
 
Tak pernah ada masalah dengan Morisade, atau band-band bagus lain yang hampir hingga benar-benar memilih berhenti. Mereka hanyalah gerombolan yang ingin bermusik, memotret apapun yang terjadi baik di sekitar maupun di dalam pikiran mereka; bersenang-senang, melakukan hal yang mereka cinta. Ya kebetulan saja, mereka ditakdirkan (baca: dikutuk) menghasilkan karya yang bagus.
 
And clearly, the problem is on me. Or us. Jika boleh sekali saja mengajak, marilah kita mencintai Morisade— atau band manapun– dengan porsi sewajarnya saja. Tanpa ingar bingar tendensi, tanpa puja-puji penuh fantasi, dan tanpa kebyar-kebyar harap yang lupa menginjakkan kakinya ke bumi.
 
Menaruh barang bernama “ekspektasi” ke dalam keranjang sampah.
 
Pun tentu saja, tulisan ini tak punya maksud “memecut” atau muluk-muluknya, “menginspirasi” mereka untuk aktif lagi. Ah, tidak– dan ngapain juga? Keberadaan tulisan ini murni berperan sebagai pengingat: Bahwa di akhir tahun 2019, ada sebuah album apik yang dirilis. Yang sempat dibicarakan dengan serius, digadang beberapa orang menjadi angin segar, namun perlahan "hilang begitu saja.” Entah karena corona, waktu yang tak tepat, atau justru sang pembuatnya.
 
Ya, album yang terlupakan waktu itu berjudul: Heterochromia.
 
-KMPL-
 
NB: Selamat ulang tahun, Heterochromia!
 
 

 

Tentang Penulis
Sepertinya Admin 1.
View all posts