Baru dibuka dengan track pertama ("Afterlife") langsung terdengar suara kokang senjata, seakan-akan membuat saya sebagai pendengar langsung menerima signal ‘berbahaya’ dalam lagu ini, dan ternyata benar! Shit! Kepala terus dibuat mengangguk-ngangguk (bukan keheranan) melainkan headbang terus menerus. Padahal baru track pertama. Wanderlust, unit Metallic Hardcore asal Tulungagung, Jawa Timur ini memang membuktikan gogon (gosip underground) yang beredar, bahwa band ini berbahaya! Sungguh danger bukan main! Dengan vokal tanpa gogowakan (scream) pun tetap membuat nuansa Mini Album ini terasa seram dan memacu adrenalin. Merasakan beberapa unsur Alice in Chain dari Mini Album ini dan of course gaya bermusiknya seperti 90’s Hardcore seperti Cro-Mags dibuktikan dengan riff-riff gitarnya yang sangat agresif sehingga badan meresponnya dengan serasa ingin gorilla dance saja.
Track pertama sampai ketiga (Afterlife, Drown, Fall of The World) cukup agresif sekali. Ya, seperti yang saya bilang tadi serasa ingin The Gorilla Dance saja. Namun ketika memasuki track ke 4 (Valley of Death) tempo agak diturunkan, diibaratkan ketika live mungkin yang nonton hanya berdansa ala NYC Classic Style saja, hitung-hitung ambil nafas sejenak sebelum ditutup dengan track kelima dan terakhir (Trapped) yang dibuat beringas kembali, bahkan ada jeda melodi yang bisa membuat kita semua membentuk circle pit dalam lantai dansa.
Dalam perayaan A Glimpse to Death ini, Greedy Dust selaku record label yang menaungi Wanderlust ini pun mencetak rilisan fisik berupa kaset pita, hoodie dan shirt yang bisa kalian nikmati dengan membelinya langsung di Greedy Dust. Selain musiknya, saya sangat suka artwork yang ditampilkan. Karya tersebut adalah buah tangan dari Akber / @eye_dust, yang bergambar tengkorak (seperti tengkorak Onigashima pada anime One PIece) namun terlihat sangat seram karena terdapat beberapa gambar manusia terbakar.
Sepertinya, siapapun yang mendengarkan mini album dari Wanderlust ini pun akan bernasib sama seperti manusia pada artwork tersebut, terbakar! Well done, great job Wanderlust and Greedy Dust for bring this fckn awesome stuff to me.
- Zico Bonetti
Bergabungnya Oddwain ke Pops! You Good (PYG) adalah salah satu hal teraneh di 2021.
Begini, output Oddwain selama ini adalah langgam-langgam alt-rock yang kelewat “cerdas”. Liriknya sama sekali tak literal, penuh metafora yang membutuhkan 4 SKS Nietschze untuk tahu apa yang Adi dan Galih bicarakan. Sedangkan PYG, label “wangi” dengan roster-roster danceable itu sudah jelas menyasar ke bigger pool alias khalayak lebih luas.
In short: Mereka bagai 2 kutub yang berbeda.
Jadi pertanyaannya: Apa yang dicari Oddwain (dengan merapat ke PYG)? Entahlah, saya sendiri tidak tahu. Mungkin mereka merasa “mentok” berjalan di tengah kesunyian. Atau mereka hanya ingin membuka kemungkinan-kemungkinan lain, seperti misalnya: Memperluas jangkauan pendengar mereka?
Hal yang menantang untuk keduanya. Bagaimana mendamaikan lirik-lirik “antah-berantah” segmented itu dengan sensibilitas yang jelas-jelas untuk orang banyak? Mengenai ini, saya pernah bilang ke Galih, “Salah satunya, ya dumb-it-down. Produkmu tetep tapi isu yang kamu lempar di rilis kamu ‘ringankan’. Seenggaknya cek rada relate sama orang-orang-- itupun kalo kamu mau.” Itu satu. Sisanya biar PYG yang mikir, ya tho?
Lewat “Cruise”, saya jadi tahu solusi lain: “Liriknya tetap, tapi musiknya dimudahkan.” Lagu ini menghadirkan vibes Franz Ferdinand yang groovy dan super danceable meski tetap dengan lirik Galih-esque itu tadi. (Swetermerah, di kolom komen YouTube merangkumnya dengan baik: “Dansa sambil mikir”). Ya, sepertinya tepat menggambarkan itu.
Karena ini rilisan pertama dengan PYG– “Radiance” dan “With All Design” sudah ada sebelum mereka sign, kita patut penasaran apa yang terjadi selanjutnya. Saya menganggap “Cruise” hanya sebuah jembatan-- kalau tak mau disebut “cek ombak”. Rilisan setelah "Cruise" mungkin bisa menentukan arah mereka selanjutnya. Dan ya, meski menunggu itu 'kan menjemukan, namun jika itu duo alt-rock yang kini makin semerbak wanginya (literally dan figuratively), saya rasa bolehlah kita melakukannya.
Pun jika para fans lawas ternyata kaget dan sedikit kecewa dengan direksi baru mereka, saya rasa itu hal wajar. Risiko. A part of journey.
... And the journey (must) goes on, right?
-KMPL-
All Birds Are Onion - Past Garden (EP)
Extended Play dengan imajinasi 360 derajat
Salah satu hal yang patut disyukuri dari pandemi laknat 3 tahun terakhir adalah munculnya hidden gem dari para seniman musik di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Dari Tulungagung Jawa Timur, terlahir pula hidden gem yang digagas oleh Onny Alberto. Nama ini konon cukup kondang di tanah kelahirannya lewat beberapa proyek musik miliknya.
Terbaru, Onny Alberto menghadirkan proyek solo yang menarik! Solo project dengan stage name All Birds Are Onion ini memang meaningless secara harfiah, namun sangat meaningful dari segi musikal.
Penghujung tahun lalu menandai rilisnya EP pertama dari All Birds Are Onion bertajuk Past Garden, menyusul dua single pertama yang sudah dilepas sebelumnya yaitu "Shine with My Feel Like New Again" dan "For a Late Movie Theater".
Jangan buru-buru mendengarkan EP-nya di Spotify. Dari cover art-nya saja kamu bakal menemukan banyak elemen yang bisa memenuhi ruang tafsirmu.
Setelah mendengarkan secara khusyuk untuk pertama kalinya, EP Past Garden membuatku mengingat masa muda dari Adam Young kala menggagas Owl City. Bukan dari segi musiknya yang serupa, namun tentang bagaimana mereka memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi pendengar dalam menafsirkan tiap penggalan lirik dan hook setiap lagu.
Jika kamu memiliki earphones 360, maka EP ini akan langsung mengitari kepalamu lewat musik dream pop yang manis. Dari 5 lagu yang terdapat di EP Past Garden, penulis memfavoritkan "Translate the Natural Feelings" dan "Ctrl + Z".
Karya yang sempurna untuk menutup tahun.
- Jeff Winanda