”Anything You Want” - musikalisasi puisi a la Reality Club
Selama “The Teaser Tour” lagu bertajuk “Anything You Want” adalah salah satu lagu yang sering dibawakan oleh Reality Club dalam rangkaian tur yang memang disengaja oleh mereka memberikan bocoran lagu-lagu pada album selanjutnya.
Lagu ciptaan Fathia Izzati yang diangkat dari puisi cinta ini memang sarat akan lonjakan emosi, pengharapan, dan impian-impian yang ingin diwujudkan. Kita dipaksa merasakan cerita cinta pada lagu ini dengan nuansa teatrikal dengan sentuhan orkestra di belakangnya.
Dan menurut saya itu berhasil, musik yang terdengar lebih megah namun ketika didengarkan dengan baik lagu ini akan terasa seperti mendengarkan lagu dari lini Britania Raya Arctic Monkeys yang bertajuk Cornerstone. Hal tersebut sudah saya curigai ketika dua rilisan sebelumnya yaitu “I Wish I Was Your Joke” dan “Tell Me I’m Wrong”, ketika pertama mendengar kedua lagu tersebut memang samar-samar seperti mendengarkan Arctic Monkeys dan terjawab pada lagu “Anything You Want”, memang feel yang dirasakan adalah seperti mendengar band asal Sheffield, Inggris.
Terlepas dari itu semua, saya rasa lagu “Anything You Want” ini perlu sangat diapresiasi dengan baik, mereka berhasil menyuguhkan lagu yang seperti apa yang mereka inginkan dengan nuansa teatrikal. Dalam video klip yang sudah dirilis di kanal Youtube pun juga mereka sangat totalitas dengan menggunakan salah satu gedung teater terbaik di Indonesia. Album baru Reality Club memang patut ditunggu melihat rilisan tiga lagu terakhir mereka, demi memberikan sentuhan BritRock di permusikkan Indonesia.
- Dimas G. Narendra
The Rentenir - Eternal Journey to the Greatest Self-Exploration (Album)
Apakah album ini menarik? Depends.
Jika yang anda cari adalah musik yang eksploratif: Selamat! anda memutar album yang tepat.
Range album ini mayan luas: Dari Peach Pit, Arctic, Queen, hingga The Beatles, anda bisa menemukan semuanya di sini. Pun skill dan aransemen The Rentenir bakal bikin pemain musik medioker manapun (saya, bukan anda) minder. Cek “Get Out!”, “New High” dan “The Queen Is Dead” yang penuh kejutan dan kejumawaan itu.
Dalam hal ini, album tersebut bisa jadi referensi untuk "dicuri". Dikulik. Dipelajari secara serius untuk pengkaryaan anda, sesama musisi.
Namun akan berbeda jika yang anda cari adalah album yang compact. Yang merupakan satu kesatuan utuh dan punya core/benang merah yang jelas.
Maka dalam hal ini, Eternal Journey to the Greatest Self-Exploration belum memberikan itu. Setidaknya bagi saya. Secara keseluruhan, segala pertunjukan itu malah terkesan hanya sebagai "sirkus referensi dan kejutan". Semacam "Okay, skillful... so what? Ada sisi di mana saya tak bisa menangkap "ruh" mereka. What makes The Rentenir, The Rentenir? Semoga segera diganjar pada rilisan setelah ini.
(Oh, dan juga: Sisi produksi. Saya jelas tak paham audio, tapi saya merasa produksi rekaman ini bisa lebih baik lagi).
Well, tak apa juga. Saya tak pernah punya ekspektasi tinggi pada album pertama. Kebanyakan, menurut saya, adalah lahan bermain. Sebuah euforia kelahiran anak pertama yang disambut dengan gegap gempita.
Summing up: Album ini adalah Satu paket eklektis nan eksploratif. Namun hanyalah pijakan dari sesuatu yang sebenarnya bisa “lebih dewasa.”
Cheers!
-KMPL-
”Good Night” - Dreamy Rock n’ Roll Penuh Imajinasi dari Erratic Moody
Setahun setelah merilis album “Safari Semi” pada 2021 kemarin, Erratic Moody merilis trek paling baru bertajuk “Good Night”. Yang menarik dari lagu ini adalah mereka menggandeng Abyan Nabillio (Acin) dari The Panturas untuk mengisi beberapa part di dalamnya.
Agaknya lagu ini sedikit dibuat muram, padahal ketika didengarkan lagi liriknya, lagu ini menggambarkan kelegaan setelah bertemu dengan seseorang yang sangat disayang sampai pada akhirnya bisa tertidur dengan tenang. Meskipun ketika melihat MV yang dirilis bersamaan di YouTube, kita akan merasakan perasaan yang campur aduk, ini ada orang lagi duduk sambil minum dan membayangkan menari dengan pasangannya. Kurang frustated apa kalo dilihat lagi, nyatanya ya itu sebuah imajiner dari sang empunya lagu setelah bertemu pasangannya.
Tapi tidak bisa dipungkiri Erratic Moody masih membawakan lagu dengan simple dan catchy. Mungkin dari satu album sebelumnya dan lagu-lagu yang pernah dirilis, saya rasa lagu “Good Night” lebih terasa ke-simple-annya ditambah suara dari Acin yang membuat lagu ini lebih berwarna. Ya mungkin karena The Panturas salah satu band yang bisa membuat harmoni dua vokal dalam satu lagu tapi tetap The Adams yang nomer 1 dalam membuat harmonisasi banyak vokal.
Sepertinya Erratic Moody akan lebih menarik ketika merilis lagu-lagu sejenis dengan “Good Night”. Ketika mendengarkan album “Safari Semi” feel yang didapat adalah musik Rock n’ Roll yang membuat kita bergoyang, sedangkan “Good Night” ini lebih membuat kita berdansa kecil sembari menggelengkan kepala. Kalau bahasa jurnalisnya mungkin “pendewasaan musik” hehe.
- Dimas G. Narendra
Semester 10 - Flirting 101
Dengan intro awal yang sedikit mengingatkan pada single dari Bugg - Whiskey in the water, Flirting 101 berhasil menciptakan sebuah fuzz-rock yang sangat menyenangkan pada setiap fuzz-fuzz di gitarnya. Single dengan durasi 3.07 ini terasa sayang karena cepat berlalu, karena jujur saya sangat menikmati setiap elemen yang ada di single terbaru dari Semester 10 ini.
Jogja, lagi-lagi membuat perhatian saya fokus ke beberapa band alternatif yang ber-munculan melalui kompilasi Fresh Meat, yang tidak main-main memberikan rekomendasi ‘Daging Segar’-nya, dan Semester 10 ini termasuk salah satu dari beberapa band yang tergabung dalam kompilasi tersebut.
Dan usut punya usut, yang menjadi backing vokal dalam lagu ini pun adalah Gifari Ashafani (LOR) yang band-nya menjadi salah satu band yang mengisi Kompilasi Fresh Meat, memang sungguh solid.
Konon katanya, single ini adalah salah satu penghantar menuju rilisnya mini album mereka dan tidak main-main, akan dirilis berupa cetakan fisiknya juga! Sambil menunggu mini album-nya keluar, Flirting 101 ini sungguh sangat ciamik menjadi pembuka. Dapat langsung menghipnotis penggemar fuzz-rock dengan balutan musik alternatif 90’s yang terdengar sangat ceria.
- Zico Bonetti
Silampukau dan Irama Kecemasan Melaut dalam “Lantun Mustahil”
Pada 2021 kemarin, Silampukau merilis lagu yang membuat kita bergoyang dengan “Dendang Sangsi” dan tahun ini mereka kembali merilis lagu yang kontradiktif dengan lagu sebelumnya bertajuk “Lantun Mustahil’. Namun agaknya kita masih bisa sedikit bergoyang dengan musik a la “Maritim Pop”.
Terlepas alunan melodinya yang menyenangkan, sebenarnya lagu ini menceritakan getirnya kehidupan. Ibarat nelayan yang menggantungkan hidupnya di lautan, dia harus melawan kerasnya laut. Amuk ombak, badai menerpa, kilat dan riuh petir yang menyerang, dia tidak tahu hidupnya berakhir kapan. Tapi ya mau gimana lagi, hidup mereka bisa berlanjut dengan semua hal itu di lautan.
Musik khas Silampukau dengan suara gitar nylon ditambah suara Eki yang sangat ngebass dan seksi menjadi lebih berwarna dengan musik orkestra di dalamnya. Menurut saya pribadi, lagu ini sangat menyenangkan karena sekilas terdengar seperti Irama Pantai Selatan yang seluruh lagunya dibawakan secara khas mereka, yaitu Maritim Pop. Tapi liriknya yang menyayat hati memang tidak bisa dipungkiri sangat khas Eki dan Kharis sejak satu-satunya album mereka “Dosa, Kota, dan Kenangan”. Lirik yang lugas dan dekat dengan keseharian kita memang selalu terdengar dari lagu-lagu Silampukau dan hal itu yang membuat mereka sangat easy listening sampai tanpa disadari kita hafal semua liriknya.
Sekali lagi, Silampukau tidak pernah mengecewakan ketika merilis sesuatu, album mereka pun merupakan album terbaik dari Indonesia menurut saya pribadi. Tidak lekang oleh waktu dan masih dibawakan dengan apik ketika tampil secara luring di depan penontonnya.
- Dimas G. Narendra
Closure: Innocence sebagai Ode Menuju Kedewasaan
Terhitung butuh tiga tahun bagi Closure untuk merampungkan nomor-nomor pedar penuh dendang macam “Innocence” setelah EP Post Partum yang dirilisnya 2019 lalu. Meski relatif lama mereka hilang, ada beberapa perubahan yang jelas terlukis di Innocence dibandingkan dengan EP ataupun single Closure sebelumnya. Segenap tata suara eksperimentasi tergelintir jelas, baik dalam hal songwriting, tekhik permainan & komposisi musik yang berkembang lebih dinamis, tertata dengan baik di album ini, album orbit kehidupan nan sumpek yang diaransemen apik. Kelam, bersinar!
Dan kegembiraan saya tereskalasi begitu mendengar materinya yang berisi 10 lagu ini. Ada ekspresi baru yang mereka coba mainkan secara, tentunya, lebih dewasa. Dan ya, sembari saya mengulas ini, saya pun terlebih dulu revisit debut EP mereka terdahulu demi mencoba mengingat bagaimana gaya, rona dan sound yang mereka mainkan, dan elemen-elemen lainnya. Dan ketika coba bandingkan dengan debut Album pertamanya ini, agak tanggung perbedaannya.
Repertoar seperti “Paradigm” yang menjadi pembuka album berisikan 10 trek “Warehouse”, “Puberty” dan “I’m a Travelling Man” adalah sekelumit lagu yang saya sendiri menjadi subjektif menggambarkan binar dan gulita nya hidup yang Closure coba hutarakan. Tidak ada lagi teriakan-teriakan seperti saat melakoni relik kehidupan, kini suara vocal Dheka cenderung murung dan melantai.
Sebenarnya album ini berada di luar perkiraan, ketika banyak orang menginginkan sound seperti yang mereka gelinyangkan di EP “Journey”. Innocence terkonstruksi dari ansambel emosi yang kuat nan inventif. Pelbagai bebunyian suara gitar juga
drum berlapis di hampir dua pertiga album dimunculkan.
Debut album pertama mereka ini Lincah namun masih dengan karakter dan ambience yang gloomy nan melankolia, itu kata yang tepat juga jauh dari persepsi eksesif. Ada kualitas top notch milik mereka di beberapa lagu, meski di beberapa lagu lain saya menemukan kelemahan yang wajar. Permainan gitar Afif juga Sabiella yang kuat dan mendasar menggerakkan kelincahan tersebut dan memasang garis bass dengan riff gelap Axel yang rapat tapi gemilang dengan ketukan nge-Groove drum statis yang andal dari Ikhsan. Kendatipun dalam beberapa liriknya menggolirfikasi safari kehidupan namun ada bagian-bagian dari mereka yang merepetisi akan aksen-aksen post punk Manchester juga sedikit alt rock yang terasa dingin dengan sedikit loosen up nan memompa nyali joget pada sebuah pesta kostum retropolis. Geliat energi tersebut tidak terkesan mengebiri material lainya berkat timpalan latar vokal dari Dheka yang ajek nan solid.
Closure telah menulis lagu-lagunya yang paling kelabu, kita sebut saja begitu, karena memang tidak bisa diejawantahkan itu salah satu fitrahnya, selain tentu saja sejumlah aransemen rupawan yang mereka bikin selama ini, segar sekaligus bitter di lantai merah, problematik tampak misantropik as a journey, dan brilian juga banyak resah yang mendorong Closure menghasilkan album se-bagus Innocence. Bagus sebab mereka mampu menafsirkan kekelabuan dengan baik. Baik karena dia akhirnya menjadi indah. Dan indah bila kau mengerti dan mendengarkan “Im a Travelling Man” lebih dari lima kali berturut-turut dalam satu waktu (di atas perahu aspal ataupun ranjang molormu). Sial, tidak ada yang bisa membuat kita tak ingin terbangun lagi selain kesadaran kalau setiap terjaga malam yang kita tahu hanya jalan makin tersesat – dalam insomnia dan nostalgia, sebuah kekalutan (pikiran) atau sebut saja kegalauan yang memiliki kadar substansi yang mendalam dan lebih filosofis daripada fenomena galau murahan yang diusung anak-anak muda, yang jelas-jelas bertolakan dengan pertanyaan eksistensi Albert Camus.
Intinya, album perdana Closure ini cukup bisa memberi angin segar di kancah musik lokal. Walaupun sayangnya saya menemukan cela, karena masih terkesan belum maksimal di beberapa lini. Lebih jelasnya, lumrah agaknya mereka tengah menjamah karakter, selebihnya Closure memainkan nada - nada generic – monoton juga terkesan medioker pada sebagian isian liriknya. Namun album ini tidak bisa dibilang murah. Para peyorasi hipster post punk – ngehek – non – urban lainya, entah indis apapun itu namanya masih butuh guyuran musik seperti ini.
- Dhibja Purwahananta (Guest Reviewer)
Rayi - MATAMATA
Tampil beda dan memberi gebrakan baru, Rayi tampak berani dan lebih extraordinary dengan tarian simplenya kali ini. Terlihat dari musik videonya yang disutradarai Chandra Liow dan Timo ia tampak mahir dengan tariannya. Lain dari video klip lainnya yang lebih ke arah cerita, Rayi lebih mendominasi musik videonya dengan koreonya yang dipandu oleh Ufa Sofura.
Ia cukup terlihat mahir dalam memainkan perannya kali ini dengan memadukan rap, menyanyi dan juga menari sekaligus.
Gaya musik yang ia ciptakan juga berbeda dari sebelumnya ia bentuk bersama Asta dan Nino yang lebih pop. Diproduseri Oomax dan dibantu DJ CZA ia mengusung genre dan konsep hip hop RnB yang lebih kental dan terdengar fun. Lagu ini sangat cocok untuk para secret admirer yang lagi kasmaran.
- Abigail
Nathantania - this room
Lagu sendu yang menjadi soundtrack film "Satu Robot dan Dua Pemiliknya" cukup sederhana hanya dengan iringan piano. This room ini sedikit menggambarkan bagaimana sedihnya mengingat kembali hal-hal indah yang pernah terjadi di sebuah ruangan dan kini yang tertinggal hanyalah kenangan. Sedikit mengungkapkan tentang perasaan sayang dan kecewa jadi satu. Rupanya sang musisi juga mampu membawakannya penuh perasaan hingga pesannya tersampaikan.
- Abigail
Enau - naikkan gaji
Lirik ini cukup related di masa-masa krisis kayak gini. Efek pandemik ini memang sangat berpengaruh. Apalagi untuk para buruh yang seringkali diperas dengan gaji minim. Dengan hentakan dan liriknya yang cukup tegas seolah lagu ini ngajak kita demo hehehe. Coba dengerin deh apalagi buat para buruh yang lagi banyak tanggungan dengan gaji yang pas-pasan.
- Abigail