Loading...

Mutu Beton, Primal‑Core sebagai Bahasa Tubuh dan Politik Bunyi KUNTARI

Mba-mba urban kembali lagi! Kali ini dengan reviu khususnya atas album Kuntari, Mutu Beton.
Arsip Pers KUNTARI
Aku punya feeling bagus ketika mengetahui bahwa KUNTARI baru saja merilis album mereka yang bertajuk Mutu Beton.
 
Aku sedang berjalan kaki, turun dari angkot menuju Stasiun LRT Harjamukti. Aku pikir, panas sekali cuacanya, aku ingin menikmati jalan kakiku sambil minum kopi jago dan merokok. Aku kemudian membuka Spotify, aku mencari Mutu Beton, dan aku mencoba mendengarkannya. Aku sempat terhenyak sebentar, berhenti melangkah. “Parai” masuk ke telinga. Aku memutuskan duduk dulu. Menyerap bebunyian itu.
 
Mutu Beton buatku adalah sebuah deklarasi sonik; fragmen sejarah, lanskap, dan tubuh yang berdialog lewat bahasa primal-core, genre yang diciptakan sendiri oleh KUNTARI untuk mengakomodasi bunyi yang tak bisa dikotakkan. Di dalamnya, Tesla Manaf (multi-instrumentalist) dan Rio Abror (perkusi) merakit suara-suara yang menyeruak dari hutan tropis, dari luka kolonial, dan dari ingatan yang direkam di tubuh. Direkam secara langsung di dataran tinggi Jawa Barat, album ini menjaga kedekatan dengan insting dan emosi, seolah mengajak kita menyelami bunyi dengan tubuh, bukan hanya telinga.
 
(Arsip KUNTARI)
 
Istilah "primal-core", meskipun belum dikenal luas sebagai kategori formal dalam musik kontemporer, adalah penanda penting dalam memahami pendekatan KUNTARI. Secara etimologis, kata "primal" berasal dari bahasa Latin prīmus, yang berarti "pertama", "utama", atau "paling awal". Ia berkembang menjadi primalis dan diserap ke dalam bahasa Inggris sebagai primal, yang merujuk pada sesuatu yang dasar, mentah, atau berkaitan dengan insting manusia purba. Sementara itu, "core" dalam musik sering digunakan untuk menyebut subgenre yang ekstrem, intens, dan berakar kuat pada budaya bawah tanah, seperti hardcore, grindcore, atau sludgecore.
 
Maka dari itu, primal-core dapat dimaknai sebagai pendekatan musik yang mentah dan brutal secara emosional maupun sonik. Musik ini cenderung minim lapisan produksi—kasar, lo-fi, dan tidak dipoles—sehingga menampilkan tekstur bunyi yang liar dan tak tersaring. Ia berakar pada emosi terdalam dan insting dasar manusia, seperti kemarahan, ketakutan, atau bahkan keadaan trance. Primal-core juga kerap melibatkan elemen-elemen tribal, noise, punk, hingga ritualistik, membentuk atmosfer yang tidak hanya didengar tapi dirasakan secara intens oleh tubuh pendengar. Aku dapat membayangkan sesi live-nya pasti akan dipenuhi orang-orang yang menggelengkan kepala dan menggoyangkan tubuh, kesurupan suara.
 
Dengan pendekatan ini, KUNTARI menciptakan pengalaman mendengar yang tidak bisa hanya dinikmati; ia harus dihadapi. Bunyi mereka tidak datang dari kepala, tapi dari bawah kulit. Inilah mengapa Mutu Beton tidak hanya penting sebagai karya eksperimental, tetapi juga sebagai tindakan kultural.
 
Mutu Beton hadir sebagai bentuk artikulasi sonik atas sejarah yang sering kali direduksi dalam teks, narasi resmi, atau museum. KUNTARI tidak menjelaskan sejarah, tapi membangkitkannya melalui suara. Di sinilah konsep politik bunyi bekerja: ketika suara tak lagi dianggap netral atau sekadar estetika, tapi punya posisi, sikap, dan cara kerja terhadap kekuasaan, ingatan kolektif, dan identitas. Dalam tradisi pemikiran suara kontemporer, politik bunyi merujuk pada bagaimana suara (bukan hanya kata) dapat menjadi alat resistensi, mediasi, hingga emansipasi; melintasi batas disiplin dan tubuh.
 
Aku akan mencoba dengan usaha terbaikku dalam mengulas track by track yang ada di album ini. Semoga usahaku berhasil.
 
1. Parai (I & II)
Aku memutuskan untuk menggabungkan Parai I dan II menjadi dua entitas yang perlu dibandingkan satu sama lain. Dibuka dengan rebana bertalu-talu, suara hewan menggema lewat lenguhan cornet, "Parai" menyentil trauma kolonial lewat polyrhythm longgar dan suara binatang liar yang diproses. Komposisi ini dibuat untuk instalasi LAMENT H.E.A.T karya Priyageetha Dia, yang menggali kekerasan ekstraksi karet masa kolonial. Di tangan KUNTARI, suara tidak lagi berperan hanya sebagai penanda peristiwa, tapi tubuh dari sejarah itu sendiri. Jeritan dan dengung bukan efek, melainkan ekspresi visceral dari luka yang diwariskan. Lagu ini sangat cocok sekali menjadi pembuka.
 
"Parai II" mengambil semangat yang sama, namun lebih terkonsentrasi dan mengarah pada semacam ledakan emosional. Jika bagian pertama masih menyimpan energi seperti letupan teredam, bagian kedua ini terasa seperti suara yang akhirnya pecah. Percussion menjadi lebih tajam dan agresif, diselingi glockenspiel yang berdenting seperti bunyi mesin atau napas berat dari tubuh kelelahan. Di sinilah "primal-core" benar-benar terasa sebagai bahasa tubuh: bukan representasi, tapi tindakan langsung dari rasa marah, takut, dan tak berdaya yang dilepaskan. 
 
Suara hewan yang direkam langsung pada “Parai” sangat menambah dimensi, aku tidak bisa membayangkan prosesnya; pasti sangat menyenangkan. Bisa bertemu dengan hewan-hewan, “berkomunikasi” dengan mereka, merekam suara mereka untuk menyampaikan pesan.
 
2. Penarabadan
Judulnya seolah gabungan "penaraban" dan "badan" (tubuh) yang membentuk suatu ritual sonik. Secara kebahasaan, judul “Penarabadan” tampak sebagai kata bentukan yang tidak ditemukan dalam kamus baku, namun justru menarik karena memancing interpretasi semiotik. Ia kemungkinan berasal dari proses morfologis yang menggabungkan awalan pen-, bentuk dasar arab, dan akhiran -an, membentuk “penaraban”, yang secara literal bisa dimaknai sebagai proses pengarab-an atau peresapan nilai, estetika, atau ritualitas yang diasosiasikan dengan budaya Arab atau Islam.
 
Di sisi lain, kata “badan” yang dilekatkan setelahnya menandakan tubuh, sebagai ruang pengalaman, ritus, atau bahkan medan bunyi itu sendiri. Maka, “Penarabadan” dapat dibaca sebagai “pengarab-an tubuh”, yakni tubuh yang mengalami pembatinan, pengaruh spiritual, atau pencelupan dalam sonoritas yang tak sepenuhnya berasal dari Barat. Dalam dunia KUNTARI, bunyi bukan hanya medium, melainkan peristiwa. Dan dalam setiap peristiwa bunyi itu, hadir yang disebut sonoritas, yakni kualitas kebergaungan yang membuat suatu suara tidak hanya terdengar, tetapi terasa. Sonoritas adalah bagaimana sebuah bunyi membekas, mengendap, dan menggetarkan ruang di luar dirinya: tubuh, memori, bahkan sejarah. Ia bukan hanya perkara frekuensi atau volume, tapi tentang bobot emosional dan kultural yang menempel pada suara itu sendiri. Dalam Mutu Beton, sonoritas menjadi bahasa bawah sadar. Jeritan cornet, dentuman rebana, atau desing yang diproses; semuanya mengandung kepadatan yang tak bisa diukur hanya dengan perangkat audio, melainkan harus dirasakan sebagai guncangan di dalam tubuh. KUNTARI menggunakan sonoritas sebagai cara menghidupkan lanskap, membuka ruang sakral, dan memanggil kembali sesuatu yang mungkin sudah lama bisu: ingatan yang belum selesai.
 
Dalam kerangka album Mutu Beton, penamaan “Penarabadan” ini menjadi penting karena menunjukkan bagaimana tubuh bukan hanya penghasil suara, tapi juga tempat bersemayamnya sejarah dan resonansi kultural yang kompleks. KUNTARI melalui kata ini seolah memanifestasikan tubuh yang diasupi oleh suara lintas-waktu dan lintas-wilayah: sebuah tubuh yang bergetar dalam tafsir ritus dan kegaduhan. 
 
Track ini adalah jembatan meditatif yang membangun ruang transisi menuju tekanan tinggi di lagu berikutnya. Lapis-lapis perkusi dan noise subtilis serta warna musik yang ke arah timur menghasilkan resonansi tubuh yang sunyi, namun tetap menegangkan. Ia mengajak kita untuk menunda, menahan, dan membuka telinga pada frekuensi-frekuensi yang sering terabaikan.
 
3. Kerak Terusi
Salah satu titik puncak album. Pola Reichian—merujuk pada komposer minimalis Steve Reich—diganggu oleh rebana seremonial. Reich dikenal dengan teknik "phasing" atau pengulangan motif yang bergeser perlahan, dan di sini KUNTARI menghancurkannya dengan logika rebana dan ritme Islam Nusantara. Denting glockenspiel dan marimba yang rapi diganggu oleh serbuan rebana (atau perkusi?) di tengah lalu kembali ke denting lagi, menciptakan friksi antara akademik dan spiritualitas lokal. Musiknya bergerak zigzag: sakral tapi penuh bebunyian, tertib tapi tak stabil.
 
4. Miamch
Komposisi untuk Festival Kebudayaan Yogyakarta ini mengubah gamelan dan saron menjadi perangkat resonansi spektral yang nyaris industrial. Suara metalofon diproses menjadi bayangan dirinya yang asing dan bergaung, membangun suasana psikedelik namun tetap membumi. KUNTARI tidak memainkan gamelan untuk eksotisme, melainkan menginterogasi ulang struktur gamelan itu sendiri: seberapa jauh ia bisa dibengkokkan, diseret, dan diguncang? Siapa yang menyangka bahwa melawan pakem cara memainkan gamelan bisa menjadi bebunyian yang indah dan hal itu ternyata sah-sah saja?
 
5. Paniscus
Mengambil nama dari spesies kera besar (Pan paniscus atau bonobo), track ini menari di antara groove technoid dan dentuman industrial yang berat. Ada permainan antara ritme konstan dan serangan bunyi liar yang terasa seperti pergerakan tubuh primitif. Di sini primal-core bekerja sebagai taktik ritmik: memadukan insting dansa dengan fragmen kekacauan. Bonobo dikenal sebagai spesies damai, tapi KUNTARI menggunakannya untuk menyampaikan kekerasan yang ditahan, seperti tubuh yang ingin bergerak tapi terjebak dalam sistem.
 
6. Bessing
Mungkin menurutku, track paling menarik di album ini. Terinspirasi dari ritual kesurupan lokal, "Bessing" menyatukan suara alat musik mirip terompet yang mungkin terbuat dari bambu, teriakan berseru, perkusi, dan riff grindcore. Menjelang menit ke dua (kalau tidak salah dengar), “Bessing” meletus dalam ledakan sonik yang menyerupai riff grindcore: distorsi menggerus, perkusi yang menghantam tanpa ampun, dan suara yang terasa seperti tubuh yang terbakar dari dalam. Ini bukan riff dalam arti tradisional, melainkan representasi tekstural dari kemarahan dan kesurupan. Lagu ini juga punya dinamika yang menarik, naik turun secara drastis. Ini tidak hanya ekstrem dan eksperimental, tapi juga merupakan rekonstruksi spiritualitas yang tak jinak. KUNTARI menciptakan atmosfer upacara yang tidak ditujukan untuk penonton, tapi untuk entitas lain—mungkin leluhur, mungkin arwah, atau mungkin diri sendiri yang terbelah. Bunyi bukan untuk didengar, tapi untuk menyelusup.
 
7. Mutu Beton
Judul yang diambil dari simbolisasi kekuatan dan konstruksi ini justru menjadi simpul kontemplatif. Di lagu penutup ini, KUNTARI tidak memilih ledakan, melainkan perenungan. Suara-suara yang sebelumnya tercerai disatukan, dipadatkan menjadi energi sonik yang berlapis. "Mutu Beton" menjadi refleksi atas semua kehancuran dan perlawanan sebelumnya, sekaligus janji bahwa bunyi akan terus menjadi bahasa tubuh yang paling jujur. “Mutu Beton” dibuka dengan perkusi yang padat dan bunyi cring-cring yang entah berasal dari alat musik apa. Lagu ini pendek, tidak sampai tiga menit, namun menurutku berhasil menutup album dengan baik. 
 
 
Mutu Beton direkam live di Tesla Manaf Studio dan satu lagu di Padepokan Selodranan, Kulon Progo. Tesla Manaf memainkan cornet, hulusi, gitar elektrik, gamelan Jawa, marimba, rebana hadroh, glockenspiel; sementara Rio Abror mengisi ruang ritmik dengan drum, perkusi, saron, dan gambang. Mereka tidak menggunakan overdub berlebih: ini tentang kehadiran, tubuh, dan improvisasi. Semua bunyi direkam sebagai hasil interaksi langsung antar pemain, bukan konstruksi digital.
 
Dirilis oleh 99CHANTS secara internasional dan oleh Grimloc Records, Disaster Records, dan Bojakrama Press di Indonesia, album ini hadir dalam format digital dan piringan hitam. Artwork oleh Nicola Tirabasso menegaskan kesan brutal, ritualistik, dan arkaik; namun juga menonjolkan sisi visual yang terlihat futuristik sekaligus. Sulit mendeskripsikannya. Arkaik, dalam konteks KUNTARI, bukan cuma ingin merujuk pada masa lalu, melainkan strategi estetik. Mereka tidak menggunakan bunyi-bunyi kuno untuk menciptakan nostalgia, tetapi untuk menggali ulang energi mentah yang pernah ada sebelum musik dikodifikasi, sebelum ritme disetrum oleh pasar. Keberadaan instrumen seperti rebana, gamelan, atau hulusi dalam Mutu Beton bukan ornamen etnografis, melainkan upaya mengaktifkan kembali sonik purba yang terkubur. Dalam praktik ini, yang arkaik justru terasa radikal: ia melawan modernitas sonik yang seragam dan steril. KUNTARI menjadikan yang lama bukan sebagai artefak, tapi sebagai amunisi; bahwa dalam kebisingan masa kini, kadang yang paling mengganggu justru datang dari sesuatu yang nyaris terlupakan.
 
Mengapa KUNTARI membawa tema seperti ini? Karena sejarah kolonial tidak pernah selesai. Karena tubuh masih menyimpan memori tentang luka dan perlawanan. Karena genre musik Barat tidak pernah cukup untuk mengakomodasi bunyi-bunyi dari tanah yang basah, dari ritual yang terus hidup.
 
Mutu Beton adalah perlawanan terhadap klasifikasi, terhadap kekuasaan formal dalam sejarah musik. Politik bunyi bukan teori kosong di sini: ia adalah praktik, tubuh, dan medan taktik. KUNTARI tidak menawarkan jawaban, tapi membuka lanskap—bunyi sebagai medium untuk menggugat, mengingat, dan bertahan. Dalam dunia di mana bunyi sering kali dipoles, diproduksi, dan dinormalisasi, Mutu Beton berdiri sebagai monumen kasar yang menolak diam. Dan dalam penolakannya itu, kita mendengar yang paling jujur dari musik: bukan harmoni, tapi hasrat untuk hidup.
 
Aku tidak tahu persis kapan terakhir kali sebuah album membuatku merasa seperti ini—terhubung, terguncang, dan terdiam dalam waktu yang lama setelahnya. Mutu Beton adalah pengalaman yang tak ingin buru-buru selesai. Ia menggedor, tapi juga merawat. Ia membuatku mendengar dengan cara yang berbeda: dari dalam tubuh, bukan dari luar kepala. Mungkin karena di dalamnya, suara tidak lagi hadir untuk menyenangkan, tapi untuk mengingatkan. Bahwa kita punya masa lalu yang belum tuntas, dan bahwa tubuh kita masih terus mencatat segalanya; dalam bunyi, dalam diam, dalam getaran yang tak bisa dijelaskan. Dalam album ini, KUNTARI menaruh semua itu, dan kita, sebagai pendengar, hanya bisa datang dengan sepenuh napas.
 
Selamat mendengarkan!

- Puti Cinintya Arie Safitri

Tentang Penulis
Menulis, memotret, tapi lebih sering main Township.
View all posts