Masurai - Manusia/Pakar Praktisi
Saya bukan pendengar post-punk yang taat, jadi urusan teknis musiknya saya serahkan kepada yang lebih nggethu (Alfan Rahadi, misalnya?). Sekilas dengar pun, tak banyak bedanya Masurai dengan nama lama mereka, Closure. Buat anda yang gandrung Motorama dan koleganya, sila dengarkan mereka.
Yang lebih menarik justru kehadiran lirik Indonesia. Saya selalu menyambut hal ini dengan gembira, dan di maxi-single Manusia/Pakar Praktisi Masurai cukup berhasil memadu-padankan musik dan kata: halus, natural, dan—yang paling penting—tidak terasa “mekso”.
Diskursus yang mereka bawa juga layak ditilik lebih dalam. Maxi-single ini mengajukan pertanyaan tentang keberadaan diri dan makna kewarasan hari ini. Keduanya saling melengkapi: “Manusia” adalah pencarian ke dalam diri, sedangkan “Pakar/Praktisi” pandangan ke luarnya. Mendengarkannya, saya merasa Masurai seperti sosok renta yang gemar merenung sekaligus kecewa pada berbagai hal di sekelilingnya. (Narasi yang mengingatkan saya pada Sajama Cut atau Satu Per Empat—dua kampiun saya soal keresahan macam ini).
Meski begitu, sisi lirik Masurai masih terasa perlu dipoles, terutama pada ranah gramatika dan pilihan kata. Dalam “Manusia”, misalnya, ada baris “Menanggung beban yang sudah terstruktural.” Kata “terstruktural” terdengar janggal, karena membawa makna ganda yang saling menimpa: ada “ter-” sebagai imbuhan pasif, lalu “struktural” yang sudah berdiri sendiri sebagai kata sifat. Hasilnya redundan—padahal cukup memilih salah satunya: “terstruktur” (lebih tepat dalam konteks beban yang sudah tersusun) atau “struktural” (jika ingin menekankan sifat atau sistem).
Hal serupa muncul di “Pakar-Praktisi” dengan baris “Seperti bayi biasa, yang murni akan tanpa pendosa.” Di sini masalahnya bukan sekadar pilihan kata, tapi juga semantik (makna). Kata pendosa berarti orang yang berdosa, sehingga kalimat itu malah menimbulkan tafsir rancu: seolah-olah bayi itu lahir di ruang hampa tanpa keberadaan orang berdosa di sekitarnya. Padahal, jika menilik konteks lagunya– tentang kekecewaan pada budaya linimasa—yang hendak ditegaskan justru kesucian bawaan seorang bayi. Lebih mengena kalau ditulis: “Seperti bayi biasa, yang murni dan tanpa dosa.”
Kalau pun mau dibela dengan poetic license*, penggunaan itu masih terasa lebih seperti kesalahan morfologis ketimbang eksperimen bahasa. Saya tidak menemukan lapisan makna tambahan dari penggunaan itu. Pun wacana Masurai sendiri cenderung lugas dan gamblang, bukan yang memberi ruang tafsir liar nan absurd.
Masurai jelas bukan yang pertama yang punya masalah semacam ini. The Jansen di “Racun Suara” juga menulis “Represif bukanlah cara untuk kau berekspresif.” Lebih lawas lagi, kita punya Dewa dengan “Tatap matamu bagai busur panah / yang kau lepaskan ke jantung hatiku” (sejak kapan kita melepaskan busur, bukan anak panah?). The Mercy’s pun pernah dikuliti Mahfud Ikhwan gara-gara lirik “Mengapa di dunia ini begitu menertawai.” (mana subjek kalimat ini?) Maksud saya, anda tak perlu jadi sarjana sastra (atau polisi bahasa) untuk melihat kerancuan kalimat-kalimat tadi, kan?
Terlepas masalah teknis tadi, Masurai tetap angin segar dan layak dinantikan. Musiknya mungkin tak banyak berubah, tapi diskursus dan lokalitas yang dibawanya cukup baru. Perkara tata bahasa, itu urusan yang masih sangat mungkin diperbaiki. Toh, bahasa ibu kita tetap bahasa Indonesia.
*Poetic License: Kebebasan penulis untuk menyimpang dari aturan bahasa demi efek artistik atau dramatis tertentu. Contohnya bisa dilihat pada lirik Dream Theater di lagu “The Mirror”: Constant pressure tests my will / my will or my won’t. Kata “won’t” yang biasanya berfungsi sebagai kata kerja bantu diubah menjadi kata benda sebagai lawan dari “will”. Sementara “will” yang berarti “niat” juga sekaligus bisa dimaknai sebagai “Will” yang merujuk pada hal-hal yang mungkin, sehingga permainan kata ini melipatgandakan arti dan kedalaman ekspresi liriknya.
-KMPL-
Tiresome - Bleeder (EP)
Bagi Tiresome, entitas musik yang bersemi di ujung utara Sulawesi, musik menjelma bukan sekadar agregasi nada-nada agresif, melainkan wahana untuk memvokalisasikan inherennya kegundahan kelas pekerja. Siaran pers ini secara eksplisit menyoroti premis naratif yang melandasi opus perdana mereka, Bleeder: sebuah ekskresi kalbu dan ansietas eksistensial yang mungkin asimtotik dengan pengalaman siapapun yang merasai getirnya monotoni dan impian yang terkubur di balik imperatif pekerjaan. Fakta bahwa ketiga personifikasi ini terpisah oleh ekstensi geografis, namun tetap solid dalam mengartikulasikan pesan ini, justru mengamplifikasi autentisitas narasi yang mereka usung.
Bleeder terasa lebih dari sekadar eksplorasi musikal dalam koridor post-hardcore yang berhibridisasi dengan nuansa alternative dekade 90-an. Lebih jauh dari itu, extended play ini menjelma antologi kisah tentang pelepasan ilusi dan ambisi, simulakra kebahagiaan di bawah hegemoni budaya kerja, serta kerinduan untuk mengelakkan diri dari regimentasi yang mengekang. Empat numerasi di dalamnya bukan sekadar komposisi auditif, melainkan fragmentasi kehidupan yang mungkin terluput dari sorotan gegap gempita pemberitaan mainstream. Proses kreatif yang dilaksanakan secara virtual, dari lokakarya hingga fabrikasi rekaman, justru memperkuat konsepsi bahwa narasi yang mereka sampaikan adalah sebuah desideratum mendesak, melampaui konfin ruang dan waktu. Narasi Tiresome berpotensi untuk beresonansi lebih ekstensif, melintasi batas geografis Sulawesi. Mereka tidak hanya memainkan musik; mereka sedang menarasikan kisah banyak individu. Dan dalam naratif-naratif inilah, esensi sejati sebuah artefak seni bersemayam.
- Puti Cinintya Arie Safitri
Natasya Elvira - Kutukan
Kadang cinta itu nggak selalu jadi hal yang indah… Dari situ lahir “Kutukan”, single terbaru Natasya Elvira bareng Societeit de Harmonie yang rilis 18 Juli 2025. Menurutku, lagu ini bukan cuma rangkaian nada sama kata, tapi kayak potret luka yang diubah jadi nyanyian. Ceritanya tentang dua orang yang saling cinta, tapi terus aja kejebak dalam siklus berantem yang nggak ada ujungnya.
Dari vokal sampai aransemen, vibe jazz klasiknya kerasa banget. Tiap lirik yang dibawain Natasya Elvira kayak curhatan personal yang getir. Tone vokalnya nyatu sama piano yang simpel dan perkusi halus, bikin mood elegan tapi tetep melankolis.
Visualnya juga nggak kalah kuat. Artwork-nya terinspirasi dari lukisan The Lovers karya René Magritte, ngasih vibe cinta buta yang ketutup kabut. Sedangkan video liriknya, yang diambil di kedai kopi Malang, nunjukin adegan telepon sederhana tapi sarat konflik emosional. Jadi kayak reminder kalau cinta yang nyakitin itu nggak cuma ada di puisi atau metafora, tapi bisa kejadian nyata di meja kopi tempat kamu biasanya nongkrong.
“Kutukan” hadir bukan hanya sebagai lagu galau, melainkan refleksi jujur tentang cinta yang menguras energi. Vokal lembut Natasya Elvira berpadu dengan aransemen sederhana beraroma jazz yang elegan. Hanya saja, aransemen musiknya masih terdengar datar; tambahan instrumen seperti saxophone mungkin bisa memperkuat nuansa jazz klasik dan memperdalam emosi lagu. Meski begitu, “Kutukan” tetap meninggalkan kesan yang hangat dan melankolis.
- Abigail
Kentara - Menawar Samar
Barangkali, kepercumaan hidup adalah zeitgeist para indie-rocker hari ini. Khususnya di Indonesia, kita punya FSTVLST (dan Jenny kalau mau dihitung) sebagai kampiunnya. The Jansen juga, begitu pun The Jeblogs yang melagukan frasa Dea Anugrah “Hidup memang begitu indah… hanya itu yang kita punya.”
Saya rasa Kentara punya nadi serupa. Baca saja liriknya, “Terbangun dari ranjang panjang / telah banyak hal yang dipikirkan” sampai “Nampak di pelupuk mata / keraguan yang tetiba melintas.” Ini adalah lagu eksistensialis tentang hidup dan rupa-rupanya; kelancutan yang mau tak mau harus dilanjutkan (karena cuma itu yang kita punya). Sekilas dengar, mungkin Kentara adalah gerombolan artworker, pembaca Sartre, atau mereka yang keranjingan sabda-sabda Farid Stevy. Mungkin.
Departemen lirik tadi disambut dengan mentahnya indie rock mereka, dengan raungan gitar dan hentak beat yang mengingatkan saya pada Is This It-nya The Strokes dan Whatever People Say I Am, That’s What I’m Not milik Arctic Monkeys.
Buat anda yang suka indie-rock macam tadi, sila berhenti membaca dan segera mendengarkan Kentara.
-KMPL-
Sourmilk - Rocketship
Unit indie rock asal Bali, Sourmilk, kembali mengisi telinga pendengar dengan single terbaru berjudul “Rocketship”. Lagu ini dirilis sebagai bagian dari album debut mereka A Collection of Absurd Ideas yang resmi meluncur pada 25 Juli 2025.
Dibalut dengan gitar jangly, nuansa dreamy, dan tempo yang steady, “Rocketship” terasa seperti soundtrack untuk kabur sejenak dari hiruk-pikuk bumi. Liriknya pun cukup getir, mengungkap kerinduan untuk bebas: “I wanna go to the moon … ’Cause I don’t have a rocket ship, guess I’m just too dumb for it.” Di balik kesan manisnya, ada sentuhan realita yang bikin lagu ini terasa jujur dan membumi.
Yang bikin menarik, Sourmilk tetap memilih aransemen yang simpel tapi konsisten dari awal sampai akhir. Vokal yang lembut berpadu dengan gitar renyah menciptakan suasana hangat dan nostalgic. Meski ada bagian yang terasa agak repetitif, justru kesan ini bikin lagunya terdengar apa adanya dan gampang dinikmati.
Aransemennya masih terbilang aman. Lapisan instrumen berjalan mulus, tapi belum banyak kejutan yang membuat telinga kaget. Namun, justru kesederhanaan itu yang bikin lagu ini mudah dicerna. Dengan “Rocketship”, Sourmilk menunjukkan potensinya untuk terus tumbuh, tanpa kehilangan ciri dreamy yang jadi identitas mereka.
- Abigail
Kastil – Shadows (EP)
Setelah 2 dekade lebih 4 tahun vakum dari kancah musik gorong-gorong ekstim Kota Malang, Kastil kembali bangkit dari kegelapan dengan merilis 1 EP bertajuk Shadows yang berisikan 4 trek. Band yang sudah ada sejak 1998 ini mulai rehat sejak tahun 2001 dan kembali di Agustus 2025 ini. Trek pertama yang ada di EP ini berjudul "Awakening" yang menggambarkan momen manusia yang tidak bisa menolak sisi gelapnya. Dilanjutkan dengan "Frantic" yang mana menangkap kegelisahan dan gejolak batin dalam menekan sisi gelap. Trek ketiga adalah "Shadows" di mana sudah dalam fase menerima kegelapan batinnya. "Animal Instinct" menjadi trek penutup dan pamungkas dalam EP ini yang merepresentasikan pelepasan naluri dan sisi liarnya yang merupakan termasuk dalam jati dirinya.
Bisa dibilang Kastil yang sekarang adalah super band, di mana personil yang tersisa dari 1998, Ekomata (gitaris), menggandeng nama-nama yang tidak asing di kancah musik ekstrim Kota Malang, yaitu Djo Asmoro (Fallen to Pieces) pada vokal, Adi Rakasiwi (Vinogi/Jecovox) pada drum, dan terakhir Harry Gowank (Rottenomicon/Screaming Factor) pada bass.
Dengan menggabungkan beberapa referensi musik seperti Modern Thrash Metal, Modern Hardcore, Swedish Death Metal, dan Stoner Metal menjadikan EP ini lebih berwarna. Carcass, In Flames, Comeback Kid, Metallica dan Turnstile adalah nama-nama yang menjadikan Kastil sekarang bisa disebut Botuna (Bocah Tua Nakal) dalam kancah musik ekstrim Kota Malang.
Usut punya usut, EP Shadows ini adalah bridging sebelum nantinya Kastil akan merilis full album mereka nanti. Dan rencananya mereka akan melakukan ibadah Tour pada bulan Oktober. Sekali lagi, Welcome Back, Kastil!
- Dimas Gilang Narendra
Egon Spengler – Ecto 1
Unit punk rock asal Surabaya¸ Egon Spengler baru saja merilis ulang album mereka dalam rangka merayakan 1 dekade yang bertajuk Ecto 1 dalam bentuk fisik kaset pita yang diproduksi oleh Gemar Records. Album yang pertama kali dirilis tahun 2015 ini memiliki 8 trek yang penuh dengan hentakan. Band yang sudah berdiri sejak 2007 ini merupakan kumpulan eks mahasiswa ITS yang menyuguhkan lagu-lagu yang cadas dan pedas yang dirasa cukup menggambarkan kondisi yang ada di negara ini.
Agaknya kurang pas melihat Egon Spengler sebagai band punk rock, karena di album ini kita akan disuguhkan musik-musik ala Motorhead, Misfits, Black Sabbath, Nirvana dengan sentuhan thrash metal. 8 trek yang ada dalam album ini adalah Molotov Muda, Mustang Rambo, I Want To Be Satan, Not Dead Enough, Game of Horror, Attack of Teenage Zombies, Kid Asylum, dan Chat With The Death.
Rilisan fisik kaset pita Egon Spengler album Ecto 1 ini eksklusif dijual di Gemar Records, sila langsung menghubungi melalui instagram @gemar.recs.
- Dimas Gilang Narendra
Adrian Khalif .ft Dipha Barus - Kualat
Di single terbarunya kali ini, Khalif menggandeng Dipha Barus yang berjudul “Kualat”. Lewat lirik yang blak-blakan tentang penyesalan, Khalif mengajak pendengar merasakan karma dari cinta yang disia-siakan. Sentuhan elektronik khas Dipha Barus membuat lagu ini terdengar modern namun tetap emosional. “Kualat” sekaligus menegaskan kemampuan Adrian menghadirkan musik yang relevan dan dekat dengan pengalaman banyak orang.
- Abigail
Southguns - Breaking The Grey
Tidak hanya menjadi sekedar untaian nada dan ketukan ritme yang menghentak, "Breaking The Grey" memperlihatkan sebuah pendewasaan dalam cara bertutur melalui lirik, sebuah aspek yang bagiku memiliki resonansi yang jauh lebih mendalam ketimbang sekadar pengelompokan genre. Setelah sukses dengan dua karya sebelumnya, "Complicated" dan "Solitude," yang mungkin lebih akrab dengan energi khas pop-punk, "Breaking The Grey" hadir dengan nuansa emosi yang lebih kelam. Langkah ini terasa bukan hanya sebagai penjelajahan musikal, melainkan keberanian untuk menyelami kedalaman narasi yang seringkali terabaikan dalam riuhnya genre ini. Tema tentang kebebasan dari belenggu hubungan yang penuh manipulasi dan kepalsuan, yang dirangkai oleh pencipta lagunya, terasa begitu personal namun sekaligus menyentuh banyak jiwa. Aransemen yang digambarkan lebih gelap dan intens pun terasa bukan sekadar taktik musikal, melainkan representasi bunyi dari pergolakan batin yang menjadi inti dari cerita yang disampaikan lagu ini. "Breaking The Grey" seolah menjadi representasi keberanian untuk melepaskan diri dari kungkungan masa lalu yang menyakitkan dan bergerak maju dengan keyakinan yang baru tumbuh.
- Puti Cinintya Arie Safitri
Catzy - Bad Better
Eksistensi Catzy dari Pekalongan melalui single perdana mereka, "Bad Better," membangkitkan sebuah perspektif yang tak lazim. Alih-alih terserap oleh energi dan distorsi distingtif subkultur heavy dan hardcore punk yang menjadi sandaran mereka, Catzy memilih jalur easycore sebagai sarana artikulasi pesan. Opsi ini, yang diasosiasikan dengan entitas semacam New Found Glory, menjelma penghubung yang unik untuk menyampaikan sebuah narasi yang paradoksalnya ringan di tengah potensi musikal yang berdaya.
"Bad Better," sebagai perwujudan awal identitas Catzy, melampaui sekadar perpaduan musikal antara semangat pop-punk, melodi vokal yang karakteristik, dengan penurunan hentakan metal dan vokal scream ala post-hardcore. Lebih dari itu, lagu ini menghadirkan sebuah oase gagasan di tengah kecenderungan untuk senantiasa terlegitimasi di mata publik. Lirik yang terus terang, semisal "Hate me, hate me now. Judge me, as you know," secara implisit menafikan dominasi penilaian eksternal. Pesan esensial untuk menikmati kehidupan dengan santai dan memfokuskan diri pada perwujudan terbaik diri sendiri terasa begitu aktual di tengah kerumitan tatanan modern.
- Puti Cinintya Arie Safitri